Jakarta, ANTARA JATENG - Pengamat sosial politik Universitas Negeri
jakarta (UNJ) dan Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol)
Indonesia, Ubedilah Badrun, menganalisa peluang kemenangan tiap-tiap
pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2017
yang akan diselenggarakan besok.
Ubedilah mengutarakan bahwa sulit menjawab pertanyaan siapa yang akan memenangkan Pilkada DKI 2017 karena selain mendahului kehendak Tuhan, dinamika politik di Jakarta sangat kompleks sehingga membutuhkan detail analisis serta mempertaruhkan independensi akademisi.
"Meskipun argumentasi yang dibangun sangat ilmiah, tetapi jika menyebutkan nama pemenangnya sebelum pemilu maka dengan segera pendukung yang kalah menilainya sebagai akademisi partisan," kata Ubedilah dalam keterangan tertulisnya kepada ANTARA News, Selasa.
Tidak hanya akademisi, lanjut Ubedilah, lembaga survei yang sangat profesional pun tidak lepas dari label partisan. Apalagi misalnya, terlihat hasil survei menyebutkan semua cagub menang. Padahal periode survei hampir sama, metode sama, jumlah responden yang sama hasilnya pemenangnya berbeda-beda.
"Dengan hasil survei seperti itu, maka tidak heran kemudian publik menilai bahwa lembaga survei sulit dipercaya untuk independen," lanjut dia.
Untuk itu, Ubedilah menilai memang lebih mudah menjawab pertanyaan teoritik, analitik dan metodologis jika dibanding pertanyaan prediksi dalam kontestasi politik. Lebih mudah menjelaskan pertanyaan kenapa si A menang, dibandingkan pertanyaan siapa yang akan jadi pemenang.
"Dunia akademik adalah dunia ilmiah yang sarat kaidah keilmuan dan tanggungjawab moral. Itulah sebabnya akademisi sesungguhnya sangat sulit untuk menjadi partisan," jelas dia.
Lalu bagaimana menjawab prediksi pemenang Pilkada DKI dengan tetap memegang teguh kaidah ilmiah dan moralitas akademisi?
Ubedilah menjelaskan, selain melalui riset kuantitatif (survei) yang benar, cara yang mungkin dilakukan adalah membaca kemungkinan kemenangan yang komprehensif dan mendalam dari masing-masing calon kemudian menganalisis kecenderungan pemilih yang sering disebut pendekatan kualitatif.
Namun untuk mengurai perspektif komprehensif tersebut, lanjut Ubedilah, membutuhkan analisis dan narasi panjang, sehingga dalam kesempatan ini Ubedilah memadatkan dalam tiga perspektif, yaitu perspektif sosioligis politik, perspektif data pemilu sebelumnya, dan perspektif kecenderungan pemilih terkait ekpektasinya menyangkut gubernur DKI untuk periode 2017-2022.
"Tiga indikator tersebut saya jadikan sebagai alat analisis untuk menjawab pertanyaan 'siapa yang bakal menjadi pemenang pada pilkada DKI 2017?'" kata Ubedilah.
Agus-Sylvi
Ubedilah mengatakan pasangan Agus-Sylvi punya sejumlah prasyarat yang mendukung. Agus secara sosiologis politik dinilai sebagai anak muda energik yang memiliki latar etnis Jawa cukup kuat dan "darah biru politik" yang signifikan dari sang ayah dan kakeknya. Etnis Jawa di Jakarta adalah etnis terbesar yang secara sosiologis memiliki karakteristik budayanya sendiri.
Sylviana Murni secara sosiologis berasal dari etnis terbesar kedua di ibu kota yaitu etnis Betawi (27,65 persen).
Meskipun latar belakang etnis tidak lagi menjadi alasan utama warga Jakarta dalam memilih gubernur tetapi fakta bahwa pasangan Agus-Sylvi berasal dari etnis yang dominan di Jakarta telah menjadi modal sosial yang cukup signifikan untuk memenangkan kontestasi.
"Data kami menyebutkan 58 persen pemilih di Jakarta memilih bukan karena etnis, selebihnya 42 persen karena faktor lain termasuk faktor etnis," jelas Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) Indonesia itu.
Perolehan suara partai-partai pendukung Agus-Sylvi pada pemilu legislatif 2014 jika di total juga jumlah suaranya pada kisaran 1,5 juta suara. Dari indikator data pemilu sebelumnya tersebut pasangan Agus-Sylvi berpeluang cukup besar lolos melaju ke putaran kedua," jelas Ubedilah.
Di sisi lain, berdasarkan indikator kecenderungan pemilih Agus-Sylvi memiliki segmentasi yang unik. Segmentasi pemilih Agus selain simpatisan atau kader partai pendukung, ada juga dari pemilih pemula 10 persen dan para pemuda yang jumlahnya mencapai 30 persen dari total DPT.
"Artinya pemilih pemula dan pemuda jumlahnya sangat signifikan dan berpotensi kuat memberikan dukungan ke Agus-Sylvi, meski dukungan mereka berpeluang terbagi ke Ahok-Jarot dan Anies-Sandi. Pemilih muslim kultural kemungkinan menjatuhkan pilihanya pada pasangan ini," jelas dia.
Ahok-Jarot
Ubedilah menilai pasangan nomor urut dua secara sosiologis mendapatkan limpahan dukungan dari etnis Jawa 35,16 persen dan etnis Tionghoa 5,53 persen. Bahkan etnis Tionghoa diprediksi akan memberikan dukungan mendekati angka 90 persen.
"Secara politik pasangan ini adalah mendapatkan insentif melimpah dari posisinya sebagai petahana. Maka tidak heran pasangan ini dengan mudah mendapatkan dukungan publik karena bukti kerja sebagai petahana secara optimal digunakan sebagai modal kampanye," papar Ubedilah.
Berdasarkan pemilu sebelumnya, pada Pilgub DKI 2012 (pasangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama memperoleh suara sekitar 1,8 juta) maupun pemilu legislatif 2014 (total suara partai pendukung Ahok-Jarot mencapai sekitar 2,3 juta suara), maka kemungkinan perolehan suara Ahok-Jarot pada pilkada 15 februari mendatang berada pada kisaran 1,5 juta sampai 2 juta suara.
"Angka tersebut dimungkinkan terjadi karena faktor Gerindra yang dulu pada 2012 bersama PDIP mendukung Jokowi-Ahok kini mengusung Cagub-Cawagubnya sendiri bersama PKS. Dari indikator kedua ini pasangan Ahok-Jarot memiliki peluang besar untuk melaju ke putaran kedua," jelas dia.
Kendati demikian, Ubedilah menjelaskan ada kecenderungan sekitar 10-15 persen pemilih pasangan ini berpindah pilihan karena fakta kader PDIP DKI Jakarta yang kurang solid.
"Ini bisa dicermati saat sebelum pencalonan Ahok oleh PDIP dimana mayoritas pengurus dan kader PDIP DKI menolak Ahok dan fakta keluarnya Boy Sadikin dari PDIP dan bergabung menjadi tim suksesnya Anies Sandi," jelas dia.
Fakta kedua berpindahnya dukungan adalah disebabkan kesalahan komunikasi publik (kasus Surat Al-Maidah dan kasus dengan K.H. Ma'ruf Amin dipengadilan) sehingga mengurangi simpati pemilih muslim dari partai pendukung.
"Dengan mencermati indikator kecenderungan pemilih ini maka suara pemilih Ahok-Jarot makin berkurang hingga dapat diprediksi perolehan suaranya tidak jauh berbeda dengan saat pilkada 2012 Jokowi-Ahok yang mencapai kurang lebih 1,8 juta suara," jelas dia.
Ia menimpali, "Dengan angka ini pasangan Ahok-Jarot kemungkinan akan melenggang ke putaran kedua."
Anies-Sandi Menang
Ubedilah memaparkan pasangan Anies-Sandi secara sosiologis cukup kuat berkat dukungan dari etnis Jawa, Betawi, Arab dan perantauan dari kepulauan Sulawesi.
Dari sisi indikator hasil pemilu sebelumnya, pada Pilgub DKI 2012 (Gerindra bersama PDIP mengusung Jokowi-Ahok dengan 1,8 juta suara) dan pemilu legislatif 2014 (Gerindra sekitar 600 ribuan suara dan PKS sekitar 500 ribuan), pasangan ini memiliki kerja mesin politik yang dinilai banyak kalangan sangat baik sehingga berpeluang mendapatkan perolehan suara menyamai pasangan Agus-Sylvi sekitar 1,4 juta suara.
"Perolehan suara tersebut bisa bertambah jika asumsi debat cagub-cawagub yang menilai pasangan Anies-Sandi dapat mengambil keuntungan dari dilema Ahok versus Agus sehingga ada migrasi pemilih dari pemilih Ahok-Jarot maupun Agus-Sylvi ke Anies-Sandi," jelas Ubedilah.
Dari segi indikator kecenderungan pemilih, pasangan Anies-Sandi akan dicoblos pemilih setia PKS dan Gerindra, dan cenderung dipilih oleh pemilih pemula, kaum muda kelas menengah baru, umat Islam perkotaan, sebagian dari warga nahdhiyin dan Muhammadiyah.
"Data kami menemukan bahwa warga Jakarta sebesar 60 persen mempertimbangkan unsur agama dalam memilih pemimpin," kata Ubedilah.
Swing Voters
Analisis di hari tenang dengan tiga indikator di atas sesungguhnya menggambarkan ketatnya persaingan diantara tiga pasang cagub-cawagub DKI Jakarta.
Ubedilah mengatakan penentu kemenangan pada Pilkada DKI 2017 ada pada kecenderungan pemilih, baik swing voters (pemilih yang mungkin berubah pilihan) dan undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan) yang besaran sekitar 15-25 persen, termasuk di dalamnya pemilih pemula.
"Mereka mudah migrasi dan belum menentukan pilihan. Apakah mereka yang mudah migrasi dan belum menentukan pilihan ini akan menjatuhkan pilihan pada Agus, Ahok atau Anies?" kata Ubedilah kemudian menambahkan hal itu akan ditentukan juga mesin politik yang paling bekerja keras mempengaruhi dua kategori pemilih saat kampanye lalu.
Ubedilah mengutarakan bahwa sulit menjawab pertanyaan siapa yang akan memenangkan Pilkada DKI 2017 karena selain mendahului kehendak Tuhan, dinamika politik di Jakarta sangat kompleks sehingga membutuhkan detail analisis serta mempertaruhkan independensi akademisi.
"Meskipun argumentasi yang dibangun sangat ilmiah, tetapi jika menyebutkan nama pemenangnya sebelum pemilu maka dengan segera pendukung yang kalah menilainya sebagai akademisi partisan," kata Ubedilah dalam keterangan tertulisnya kepada ANTARA News, Selasa.
Tidak hanya akademisi, lanjut Ubedilah, lembaga survei yang sangat profesional pun tidak lepas dari label partisan. Apalagi misalnya, terlihat hasil survei menyebutkan semua cagub menang. Padahal periode survei hampir sama, metode sama, jumlah responden yang sama hasilnya pemenangnya berbeda-beda.
"Dengan hasil survei seperti itu, maka tidak heran kemudian publik menilai bahwa lembaga survei sulit dipercaya untuk independen," lanjut dia.
Untuk itu, Ubedilah menilai memang lebih mudah menjawab pertanyaan teoritik, analitik dan metodologis jika dibanding pertanyaan prediksi dalam kontestasi politik. Lebih mudah menjelaskan pertanyaan kenapa si A menang, dibandingkan pertanyaan siapa yang akan jadi pemenang.
"Dunia akademik adalah dunia ilmiah yang sarat kaidah keilmuan dan tanggungjawab moral. Itulah sebabnya akademisi sesungguhnya sangat sulit untuk menjadi partisan," jelas dia.
Lalu bagaimana menjawab prediksi pemenang Pilkada DKI dengan tetap memegang teguh kaidah ilmiah dan moralitas akademisi?
Ubedilah menjelaskan, selain melalui riset kuantitatif (survei) yang benar, cara yang mungkin dilakukan adalah membaca kemungkinan kemenangan yang komprehensif dan mendalam dari masing-masing calon kemudian menganalisis kecenderungan pemilih yang sering disebut pendekatan kualitatif.
Namun untuk mengurai perspektif komprehensif tersebut, lanjut Ubedilah, membutuhkan analisis dan narasi panjang, sehingga dalam kesempatan ini Ubedilah memadatkan dalam tiga perspektif, yaitu perspektif sosioligis politik, perspektif data pemilu sebelumnya, dan perspektif kecenderungan pemilih terkait ekpektasinya menyangkut gubernur DKI untuk periode 2017-2022.
"Tiga indikator tersebut saya jadikan sebagai alat analisis untuk menjawab pertanyaan 'siapa yang bakal menjadi pemenang pada pilkada DKI 2017?'" kata Ubedilah.
Agus-Sylvi
Ubedilah mengatakan pasangan Agus-Sylvi punya sejumlah prasyarat yang mendukung. Agus secara sosiologis politik dinilai sebagai anak muda energik yang memiliki latar etnis Jawa cukup kuat dan "darah biru politik" yang signifikan dari sang ayah dan kakeknya. Etnis Jawa di Jakarta adalah etnis terbesar yang secara sosiologis memiliki karakteristik budayanya sendiri.
Sylviana Murni secara sosiologis berasal dari etnis terbesar kedua di ibu kota yaitu etnis Betawi (27,65 persen).
Meskipun latar belakang etnis tidak lagi menjadi alasan utama warga Jakarta dalam memilih gubernur tetapi fakta bahwa pasangan Agus-Sylvi berasal dari etnis yang dominan di Jakarta telah menjadi modal sosial yang cukup signifikan untuk memenangkan kontestasi.
"Data kami menyebutkan 58 persen pemilih di Jakarta memilih bukan karena etnis, selebihnya 42 persen karena faktor lain termasuk faktor etnis," jelas Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) Indonesia itu.
Perolehan suara partai-partai pendukung Agus-Sylvi pada pemilu legislatif 2014 jika di total juga jumlah suaranya pada kisaran 1,5 juta suara. Dari indikator data pemilu sebelumnya tersebut pasangan Agus-Sylvi berpeluang cukup besar lolos melaju ke putaran kedua," jelas Ubedilah.
Di sisi lain, berdasarkan indikator kecenderungan pemilih Agus-Sylvi memiliki segmentasi yang unik. Segmentasi pemilih Agus selain simpatisan atau kader partai pendukung, ada juga dari pemilih pemula 10 persen dan para pemuda yang jumlahnya mencapai 30 persen dari total DPT.
"Artinya pemilih pemula dan pemuda jumlahnya sangat signifikan dan berpotensi kuat memberikan dukungan ke Agus-Sylvi, meski dukungan mereka berpeluang terbagi ke Ahok-Jarot dan Anies-Sandi. Pemilih muslim kultural kemungkinan menjatuhkan pilihanya pada pasangan ini," jelas dia.
Ahok-Jarot
Ubedilah menilai pasangan nomor urut dua secara sosiologis mendapatkan limpahan dukungan dari etnis Jawa 35,16 persen dan etnis Tionghoa 5,53 persen. Bahkan etnis Tionghoa diprediksi akan memberikan dukungan mendekati angka 90 persen.
"Secara politik pasangan ini adalah mendapatkan insentif melimpah dari posisinya sebagai petahana. Maka tidak heran pasangan ini dengan mudah mendapatkan dukungan publik karena bukti kerja sebagai petahana secara optimal digunakan sebagai modal kampanye," papar Ubedilah.
Berdasarkan pemilu sebelumnya, pada Pilgub DKI 2012 (pasangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama memperoleh suara sekitar 1,8 juta) maupun pemilu legislatif 2014 (total suara partai pendukung Ahok-Jarot mencapai sekitar 2,3 juta suara), maka kemungkinan perolehan suara Ahok-Jarot pada pilkada 15 februari mendatang berada pada kisaran 1,5 juta sampai 2 juta suara.
"Angka tersebut dimungkinkan terjadi karena faktor Gerindra yang dulu pada 2012 bersama PDIP mendukung Jokowi-Ahok kini mengusung Cagub-Cawagubnya sendiri bersama PKS. Dari indikator kedua ini pasangan Ahok-Jarot memiliki peluang besar untuk melaju ke putaran kedua," jelas dia.
Kendati demikian, Ubedilah menjelaskan ada kecenderungan sekitar 10-15 persen pemilih pasangan ini berpindah pilihan karena fakta kader PDIP DKI Jakarta yang kurang solid.
"Ini bisa dicermati saat sebelum pencalonan Ahok oleh PDIP dimana mayoritas pengurus dan kader PDIP DKI menolak Ahok dan fakta keluarnya Boy Sadikin dari PDIP dan bergabung menjadi tim suksesnya Anies Sandi," jelas dia.
Fakta kedua berpindahnya dukungan adalah disebabkan kesalahan komunikasi publik (kasus Surat Al-Maidah dan kasus dengan K.H. Ma'ruf Amin dipengadilan) sehingga mengurangi simpati pemilih muslim dari partai pendukung.
"Dengan mencermati indikator kecenderungan pemilih ini maka suara pemilih Ahok-Jarot makin berkurang hingga dapat diprediksi perolehan suaranya tidak jauh berbeda dengan saat pilkada 2012 Jokowi-Ahok yang mencapai kurang lebih 1,8 juta suara," jelas dia.
Ia menimpali, "Dengan angka ini pasangan Ahok-Jarot kemungkinan akan melenggang ke putaran kedua."
Anies-Sandi Menang
Ubedilah memaparkan pasangan Anies-Sandi secara sosiologis cukup kuat berkat dukungan dari etnis Jawa, Betawi, Arab dan perantauan dari kepulauan Sulawesi.
Dari sisi indikator hasil pemilu sebelumnya, pada Pilgub DKI 2012 (Gerindra bersama PDIP mengusung Jokowi-Ahok dengan 1,8 juta suara) dan pemilu legislatif 2014 (Gerindra sekitar 600 ribuan suara dan PKS sekitar 500 ribuan), pasangan ini memiliki kerja mesin politik yang dinilai banyak kalangan sangat baik sehingga berpeluang mendapatkan perolehan suara menyamai pasangan Agus-Sylvi sekitar 1,4 juta suara.
"Perolehan suara tersebut bisa bertambah jika asumsi debat cagub-cawagub yang menilai pasangan Anies-Sandi dapat mengambil keuntungan dari dilema Ahok versus Agus sehingga ada migrasi pemilih dari pemilih Ahok-Jarot maupun Agus-Sylvi ke Anies-Sandi," jelas Ubedilah.
Dari segi indikator kecenderungan pemilih, pasangan Anies-Sandi akan dicoblos pemilih setia PKS dan Gerindra, dan cenderung dipilih oleh pemilih pemula, kaum muda kelas menengah baru, umat Islam perkotaan, sebagian dari warga nahdhiyin dan Muhammadiyah.
"Data kami menemukan bahwa warga Jakarta sebesar 60 persen mempertimbangkan unsur agama dalam memilih pemimpin," kata Ubedilah.
Swing Voters
Analisis di hari tenang dengan tiga indikator di atas sesungguhnya menggambarkan ketatnya persaingan diantara tiga pasang cagub-cawagub DKI Jakarta.
Ubedilah mengatakan penentu kemenangan pada Pilkada DKI 2017 ada pada kecenderungan pemilih, baik swing voters (pemilih yang mungkin berubah pilihan) dan undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan) yang besaran sekitar 15-25 persen, termasuk di dalamnya pemilih pemula.
"Mereka mudah migrasi dan belum menentukan pilihan. Apakah mereka yang mudah migrasi dan belum menentukan pilihan ini akan menjatuhkan pilihan pada Agus, Ahok atau Anies?" kata Ubedilah kemudian menambahkan hal itu akan ditentukan juga mesin politik yang paling bekerja keras mempengaruhi dua kategori pemilih saat kampanye lalu.