Jakarta (ANTARA News) - "Draft" putusan uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan yang ditemukan penyidik KPK dari tangan orang dekat Patrialis, Kamaludin, sama dengan putusan yang dibacakan Mahkamah Konstitusi.
"Oh sama, sama putusannya," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Kamis.
Pada 7 Februari 2017, MK membacakan permohonan uji materi Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 tentang UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan yang isinya mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.
Permohonan itu adalah "Menyatakan pasal 36 E ayat (1) UU No. 41 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan hewan bertentangan secara bersyarat UUD RI tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam putusan ini".
Pasal 36 E berbunyi "Dalam hal tertentu dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan ternak dan/atau produk hewan".
"Tapi pihak yang membocorkan siapa, masih didalami, tapi dokumen itu sama," tambah Agus.
Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 itu sendiri diajukan oleh 6 pemohon yaitu Teguh Boediayana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhammad Lutfhi Nugraha, Asnawi dan Rachmat Pambudi yang merasa dirugikan akibat pemberlakuan zona "base" di Indonesia karena pemberlakuan zona itu mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.
Suap diduga diberikan agar MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi tersebut.
UU itu mengatur bahwa impor daging bisa dilakukan dari negara "Zone Based", di mana impor bisa dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk dalam zona merah (berbahaya) hewan ternak bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), termasuk sapi dari India.
Hal itu berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni "country based" yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru. Australia adalah negara asal sapi impor PT Sumber Laut Perkasa.
Patrialis dalam perkara ini diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman.
Patrialis bersama dengan orang kepercayaannya Kamaludin disangkakan pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah UU No. 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama seumur hidup atau 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Tersangka pemberi suap adalah Basuki dan sekretarisnya, Ng Fenny, yang disangkakan pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.
"Oh sama, sama putusannya," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Kamis.
Pada 7 Februari 2017, MK membacakan permohonan uji materi Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 tentang UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan yang isinya mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.
Permohonan itu adalah "Menyatakan pasal 36 E ayat (1) UU No. 41 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan hewan bertentangan secara bersyarat UUD RI tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam putusan ini".
Pasal 36 E berbunyi "Dalam hal tertentu dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan ternak dan/atau produk hewan".
"Tapi pihak yang membocorkan siapa, masih didalami, tapi dokumen itu sama," tambah Agus.
Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 itu sendiri diajukan oleh 6 pemohon yaitu Teguh Boediayana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Gun Gun Muhammad Lutfhi Nugraha, Asnawi dan Rachmat Pambudi yang merasa dirugikan akibat pemberlakuan zona "base" di Indonesia karena pemberlakuan zona itu mengancam kesehatan ternak, menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati.
Suap diduga diberikan agar MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi tersebut.
UU itu mengatur bahwa impor daging bisa dilakukan dari negara "Zone Based", di mana impor bisa dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk dalam zona merah (berbahaya) hewan ternak bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), termasuk sapi dari India.
Hal itu berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni "country based" yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru. Australia adalah negara asal sapi impor PT Sumber Laut Perkasa.
Patrialis dalam perkara ini diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman.
Patrialis bersama dengan orang kepercayaannya Kamaludin disangkakan pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah UU No. 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama seumur hidup atau 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Tersangka pemberi suap adalah Basuki dan sekretarisnya, Ng Fenny, yang disangkakan pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.