Magelang, Antara Jateng - Performa gerak tentang kesucian yang bersumber inspirasi dari Patung Ardhanari di Museum Airlangga Kediri, Jawa Timur, disuguhkan seniman Padepokan Lemah Putih kepada para siswa Seminari Menengah Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (7/10) malam.
Pementasan performa gerak karya Suprapto Suryodarmo, pemimpin padepokan di Karanganyar, Jawa Tengah, itu dalam rangkaian Borobudur Writers and Cultural Festival (5-8 Oktober 2016) dengan tema "Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara".
Sebanyak empat pelaku performa adalah Suprapto Suryadarma atau Mbah Prapto (pendoa), Otniel Tasman (lengger), Bagus Pramana (Panji), dan Mintari(Sekartaji).
Beberapa properti untuk performa mereka yang tampak menjadi perhatian penonton, antara lain kain putih cukup panjang, cermin, sesaji berupa bunga mawar dalam cobek, dupa, topeng panji dalam bentuk kontemporer.
Patung besar bernama Ardhanari yang kini ada di Museum Airlangga Kediri yang merupakan tempat lahirnya cerita panji itu, berupa Siwa dan Parwati.
"Dari patung itu, lalu idenya bahwa penyatuan antara laki-laki dan perempuan yang dalam masyarakat disebut perkawinan adalah proses kesucian, bukan sekadar persoalan gender atau erotisme," katanya.
Ia menjelaskan tentang pesan yang ingin disampaikan dalam performa gerak tersebut.
"Pesan yang ingin disampaikan melalui pementasan kami adalah menyangkut kesucian, sebagaimana persoalan besar kehidupan yang dihadapi masyarakat saat ini. Untuk mencapai kesucian, manusia harus menjalani proses," kata Mbah Prapto.
Terkait dengan cerita panji di Serat Centhini, ujarnya, menunjuk kepada petilasan Sekartaji di Desa Plono, Kabupaten Banyumas, Jateng. Panji dan Sekartaji menyatu menjadi lengger (tarian khas Banyumas).
Gerak para penari dalam performa "Ardhanari" itu menunjukkan kekhasan tarian lengger dengan lantunan tembang pengiringnya yang disuguhkan Otniel pada awal pementasan, diperkuat ungkapan suara doa oleh Mbah Prapto.
Selain performa Ardhanari, pada pementasan BWCF hingga menjelang tengah malam di GOR "Laudato Si" di Kompleks Seminari Mertoyudan itu, antara lain pembacaan puisi oleh sejumlah penyair, seperti Aziz Manna, Sosiawan Leak, dan Norman Erikson Pasaribu, serta pertunjukan musik Kelompok Ganzer.
Selain itu, performa "Centhini Bungkus" karya Heri Lentho (Surabaya), tarian Reog Bukilyo (Blitar, Jatim), dan sajian upacara tradisi Bissu oleh Komunitas Bissu (Sulawesi Selatan).
Rektor Seminari Menengah Mertoyudan Romo Thomas Becket Gandhi Hartono mengatakan pementasan BWCF di tempat pendidikan calon imam Katolik itu, memperluas wawasan dan pengetahuan para seminaris, termasuk menyangkut keragaman budaya bangsa serta pentingnya mereka mengembangkan semangat pluralisme.
"Pementasan malam ini memperluas wawasan para seminaris tentang keragaman seni, tradisi, dan budaya bangsa," katanya.
Pementasan performa gerak karya Suprapto Suryodarmo, pemimpin padepokan di Karanganyar, Jawa Tengah, itu dalam rangkaian Borobudur Writers and Cultural Festival (5-8 Oktober 2016) dengan tema "Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara".
Sebanyak empat pelaku performa adalah Suprapto Suryadarma atau Mbah Prapto (pendoa), Otniel Tasman (lengger), Bagus Pramana (Panji), dan Mintari(Sekartaji).
Beberapa properti untuk performa mereka yang tampak menjadi perhatian penonton, antara lain kain putih cukup panjang, cermin, sesaji berupa bunga mawar dalam cobek, dupa, topeng panji dalam bentuk kontemporer.
Patung besar bernama Ardhanari yang kini ada di Museum Airlangga Kediri yang merupakan tempat lahirnya cerita panji itu, berupa Siwa dan Parwati.
"Dari patung itu, lalu idenya bahwa penyatuan antara laki-laki dan perempuan yang dalam masyarakat disebut perkawinan adalah proses kesucian, bukan sekadar persoalan gender atau erotisme," katanya.
Ia menjelaskan tentang pesan yang ingin disampaikan dalam performa gerak tersebut.
"Pesan yang ingin disampaikan melalui pementasan kami adalah menyangkut kesucian, sebagaimana persoalan besar kehidupan yang dihadapi masyarakat saat ini. Untuk mencapai kesucian, manusia harus menjalani proses," kata Mbah Prapto.
Terkait dengan cerita panji di Serat Centhini, ujarnya, menunjuk kepada petilasan Sekartaji di Desa Plono, Kabupaten Banyumas, Jateng. Panji dan Sekartaji menyatu menjadi lengger (tarian khas Banyumas).
Gerak para penari dalam performa "Ardhanari" itu menunjukkan kekhasan tarian lengger dengan lantunan tembang pengiringnya yang disuguhkan Otniel pada awal pementasan, diperkuat ungkapan suara doa oleh Mbah Prapto.
Selain performa Ardhanari, pada pementasan BWCF hingga menjelang tengah malam di GOR "Laudato Si" di Kompleks Seminari Mertoyudan itu, antara lain pembacaan puisi oleh sejumlah penyair, seperti Aziz Manna, Sosiawan Leak, dan Norman Erikson Pasaribu, serta pertunjukan musik Kelompok Ganzer.
Selain itu, performa "Centhini Bungkus" karya Heri Lentho (Surabaya), tarian Reog Bukilyo (Blitar, Jatim), dan sajian upacara tradisi Bissu oleh Komunitas Bissu (Sulawesi Selatan).
Rektor Seminari Menengah Mertoyudan Romo Thomas Becket Gandhi Hartono mengatakan pementasan BWCF di tempat pendidikan calon imam Katolik itu, memperluas wawasan dan pengetahuan para seminaris, termasuk menyangkut keragaman budaya bangsa serta pentingnya mereka mengembangkan semangat pluralisme.
"Pementasan malam ini memperluas wawasan para seminaris tentang keragaman seni, tradisi, dan budaya bangsa," katanya.