Semarang, Antara Jateng - Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) R. Kurnia Sya'ranie mengatakan budaya "mremo" dan "nrimo" di masyarakat ikut mendukung lonjakan harga komoditas.
"Sering terjadi ketika momentum tertentu harga komoditas (di pasaran, red.) melonjak tinggi, seperti harga daging ayam dan daging sapi," katanya di Semarang, Senin.
Hal tersebut diungkapkannya saat "Diseminasi Prinsip Perjanjian Kemitraan Pola Inti Plasma Bidang Usaha Peternakan Ras" yang diprakarsai KPPU di Semarang, Jawa Tengah.
Ia mengakui bahwa KPPU memang berperan melakukan pengawasan, termasuk jika ada indikasi permainan harga di pasaran dalam kaitan dengan harga komoditas pangan. Namun, pemerintah juga harus ikut mengatur.
"Para pelaku usaha jug, sadar atau enggak bahwa perilaku mereka merugikan masyarakat? Istilahnya 'mremo'. Daging ayam mestinya Rp16.500,00/kilogram, harganya jadi Rp40 ribu s.d. Ro50 ribu/kg," katanya.
"Mremo" merupakan istilah yang mengartikan pedagang musiman dan identik dengan kenaikan harga jual barang pada momentum tertentu dibandingkan dengan hari-hari biasa, seperti hari-hari besar.
Oleh karena itu, kata dia, mestinya perlu ada sosialisasi mengenai perilaku "mremo" yang sebenarnya merugikan masyarakat karena harga barang menjadi lebih tinggi daripada harga biasanya.
"Di sisi lain, masyarakat juga 'nrimo' (menerima, red.), ya, tetap membeli. Ini yang kemudian dimanfaatkan dengan penyalahgunaan posisi dari pihak yang dominan untuk menaikkan harga," katanya.
Meski demikian, Kurnia mengakui kemungkinan terjadinya permainan harga dari pihak yang kuat, apalagi jika mereka sudah menguasai perdagangan suatu komoditas tertentu dari hulu sampai hilir.
"Jadi, dari hilir hingga hulu dikuasai. Ini sebenarnya undang-undang belum melarang. Namun, kalau sudah terjadi 'abuse', menyalahgunakan posisi, KPPU bisa masuk (menindak, red.)," tegasnya.
"Sering terjadi ketika momentum tertentu harga komoditas (di pasaran, red.) melonjak tinggi, seperti harga daging ayam dan daging sapi," katanya di Semarang, Senin.
Hal tersebut diungkapkannya saat "Diseminasi Prinsip Perjanjian Kemitraan Pola Inti Plasma Bidang Usaha Peternakan Ras" yang diprakarsai KPPU di Semarang, Jawa Tengah.
Ia mengakui bahwa KPPU memang berperan melakukan pengawasan, termasuk jika ada indikasi permainan harga di pasaran dalam kaitan dengan harga komoditas pangan. Namun, pemerintah juga harus ikut mengatur.
"Para pelaku usaha jug, sadar atau enggak bahwa perilaku mereka merugikan masyarakat? Istilahnya 'mremo'. Daging ayam mestinya Rp16.500,00/kilogram, harganya jadi Rp40 ribu s.d. Ro50 ribu/kg," katanya.
"Mremo" merupakan istilah yang mengartikan pedagang musiman dan identik dengan kenaikan harga jual barang pada momentum tertentu dibandingkan dengan hari-hari biasa, seperti hari-hari besar.
Oleh karena itu, kata dia, mestinya perlu ada sosialisasi mengenai perilaku "mremo" yang sebenarnya merugikan masyarakat karena harga barang menjadi lebih tinggi daripada harga biasanya.
"Di sisi lain, masyarakat juga 'nrimo' (menerima, red.), ya, tetap membeli. Ini yang kemudian dimanfaatkan dengan penyalahgunaan posisi dari pihak yang dominan untuk menaikkan harga," katanya.
Meski demikian, Kurnia mengakui kemungkinan terjadinya permainan harga dari pihak yang kuat, apalagi jika mereka sudah menguasai perdagangan suatu komoditas tertentu dari hulu sampai hilir.
"Jadi, dari hilir hingga hulu dikuasai. Ini sebenarnya undang-undang belum melarang. Namun, kalau sudah terjadi 'abuse', menyalahgunakan posisi, KPPU bisa masuk (menindak, red.)," tegasnya.