Jakarta, Antara Jateng - Era digital yang serba instan membuat televisi harus cepat beradaptasi bila tak mau kalah bersaing karena informasi kini bisa diakses lebih mudah.
"Di kota besar Amerika Serikat, anak-anak muda menonton televisi lewat gadget," tutur Naratama Rukmananda, produser dan program director Voice of America, dalam diskusi "Televisi Indonesia Masa Kini Berorientasi Pada Pasar Versus Publik" di Jakarta, Kamis.
Beralihnya perangkat untuk menonton tayangan televisi membuat rating TV teresterial dan TV kabel di Miami dan New York menurun. Rating --yang diagungkan di industri televisi-- kini bukan jadi patokan karena generasi muda seperti kaum milenial tak mengandalkan televisi untuk mendapatkan informasi.
Adanya gadget membuat TV kabel, TV lokal dan TV teresterial tidak ada bedanya karena semua bisa ditonton di genggaman tangan.
"Yang penting kebenarannya," katanya.
Pergeseran ini membuat kantor saluran berita kabel Al Jazeera di Amerika Serikat tutup. Sebagai gantinya, Al Jazeera merambah ke ranah digital yang ternyata lebih sukses ketimbang format lama. Mereka membuat ulasan berita lengkap dalam durasi semenit yang lebih banyak ditonton ketimbang berita panjang.
"Cepat atau lambat, ini juga akan terjadi di Indonesia," katanya.
Ia mengatakan, kita semua harus menyehatkan industri televisi dengan konten-konten berkualitas.
Naratama membandingkan konten di televisi AS dan Indonesia yang menganut konsep berbeda. Televisi di AS rata-rata tidak memiliki in-house production, kecuali untuk siaran berita. Konten selain berita, misalnya serial drama, didatangkan dari rumah produksi lain.
"Tidak ada kepentingan televisi, kalau tidak bagus ya out," katanya.
Di Indonesia, televisi biasanya punya in-house production yang membuat konten-konten kreatif selain berita.
"Dulu (saat televisi swasta baru bermunculan di Indonesia) tidak ada suplai, orang ber-skill yang bisa didapat cepat," katanya.
Sebagai solusinya, program-program tersebut diproduksi secara internal. Namun, para pekerja kreatif ini suatu saat akan tiba di titik jenuh yang mempengaruhi kualitas pekerjaan mereka.
Harsiwi Achmad, Direktur Program dan Produksi SCTV dan Indosiar, menyatakan kualitas konten tidak tergantung apakah itu dibuat dari pihak internal atau eksternal, melainkan kualitas sumber daya manusianya.
"In-house production juga tidak salah, kecuali bila orang-orang di dalamnya tidak dididik dengan benar."
Di sisi lain, masyarakat juga diajak untuk melek media agar bisa memilih mana konten yang bermanfaat bagi mereka.
"Di kota besar Amerika Serikat, anak-anak muda menonton televisi lewat gadget," tutur Naratama Rukmananda, produser dan program director Voice of America, dalam diskusi "Televisi Indonesia Masa Kini Berorientasi Pada Pasar Versus Publik" di Jakarta, Kamis.
Beralihnya perangkat untuk menonton tayangan televisi membuat rating TV teresterial dan TV kabel di Miami dan New York menurun. Rating --yang diagungkan di industri televisi-- kini bukan jadi patokan karena generasi muda seperti kaum milenial tak mengandalkan televisi untuk mendapatkan informasi.
Adanya gadget membuat TV kabel, TV lokal dan TV teresterial tidak ada bedanya karena semua bisa ditonton di genggaman tangan.
"Yang penting kebenarannya," katanya.
Pergeseran ini membuat kantor saluran berita kabel Al Jazeera di Amerika Serikat tutup. Sebagai gantinya, Al Jazeera merambah ke ranah digital yang ternyata lebih sukses ketimbang format lama. Mereka membuat ulasan berita lengkap dalam durasi semenit yang lebih banyak ditonton ketimbang berita panjang.
"Cepat atau lambat, ini juga akan terjadi di Indonesia," katanya.
Ia mengatakan, kita semua harus menyehatkan industri televisi dengan konten-konten berkualitas.
Naratama membandingkan konten di televisi AS dan Indonesia yang menganut konsep berbeda. Televisi di AS rata-rata tidak memiliki in-house production, kecuali untuk siaran berita. Konten selain berita, misalnya serial drama, didatangkan dari rumah produksi lain.
"Tidak ada kepentingan televisi, kalau tidak bagus ya out," katanya.
Di Indonesia, televisi biasanya punya in-house production yang membuat konten-konten kreatif selain berita.
"Dulu (saat televisi swasta baru bermunculan di Indonesia) tidak ada suplai, orang ber-skill yang bisa didapat cepat," katanya.
Sebagai solusinya, program-program tersebut diproduksi secara internal. Namun, para pekerja kreatif ini suatu saat akan tiba di titik jenuh yang mempengaruhi kualitas pekerjaan mereka.
Harsiwi Achmad, Direktur Program dan Produksi SCTV dan Indosiar, menyatakan kualitas konten tidak tergantung apakah itu dibuat dari pihak internal atau eksternal, melainkan kualitas sumber daya manusianya.
"In-house production juga tidak salah, kecuali bila orang-orang di dalamnya tidak dididik dengan benar."
Di sisi lain, masyarakat juga diajak untuk melek media agar bisa memilih mana konten yang bermanfaat bagi mereka.