Jakarta, Antara Jateng - Bank Indonesia melontarkan sinyal bahwa ruang pelonggaran kebijakan moneter selanjutnya di sisa tahun 2016 tetap sangat terbuka, dan tidak terhambat gejolak yang dipicu keluarnya Inggris dari aliansi Uni Eropa (Britain Exit/Brexit).
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di Jakarta, Selasa malam, mengatakan untuk mempertimbangkan kebijakan pelonggaran moneter berikutnya, bank sentral lebih memperhatikan tekanan eksternal yang datang dari potensi kenaikan suku bunga The Federal Reserve dan juga pemulihan perekonomian di China.
Namun, kata Mirza, dampak jangka menengah dan jangka panjang dari Brexit tetap menjadi sorotan dalam radar Bank Sentral, terutama jika berpotensi menganggu stabilitas perekonomian.
"Tidak juga. Pasar keuangan Indonesia itu ketergantungannya lebih besar terhadap kebijakan The Fed dan perekonomian China," kata Mirza, menjawab kemungkinan Brexit akan menghambat kebijakan pelonggaran moneter selanjutnya.
Mirza mencontohkan saat pengumuman hasil refrendum di Inggris, Jumat lalu, tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan juga pasar saham domestik relatif kecil dan hanya sementara.
Hal itu berbeda dengan tekanan yang timbul dari kebijakan The Fed pada April 2016 lalu. Saat itu, setelah rapat Komite Pasar Terbuka The Fed (FOMC), rupiah tertekan karena ekspetasi pelaku pasar bahwa kenaikan bunga The Fed akan terjadi Juni 2016.
Namun, ekspetasi tersebut akhirnya gugur. Dengan minimnya tekanan dari The Fed tersebut, BI pun akhirnya melakukan pelonggaran moneter dengan penurunan suku bunga untuk keempat kalinya tahun, ditambah pelonggaran kebijakan makroprudensial.
Mirza mengatakan peluang pelonggaran moneter berikutnya tetap terbuka, apalagi Gubernur The Fed Jannet Yellen sudah menyatakan bahwa akan sangat "hati-hati" terhadap dampak Brexit. Pernyataan Yellen itu memberikan sinyalamen bahwa The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat.
"Kemungkinannnya mengecil, jadi baru naik kemungkinan pada 2017," ujar dia.
Namun, kata Mirza, BI akan tetap memperhatikan stabilitas perekonomian, sebelum memutuskan kebijakan pelonggaran moneter berikutnya. Secara umum, menurutnya, fundamen perekonomian saat ini semakin kuat, tercermin dari laju inflasi yang terkendali dan defisit transaksi berjalan yang mengecil.
Hingga Juni 2016, BI sudah empat kali menurunkan suku bunga acuan menjadi 6,5 persen dari 7,5 persen. Kebijakan tersebut di luar dari dua pelonggaran instrumen makroprudensial yang diambil pada Juni 2016 lalu.
Bank Sentral pun secara terang-terangan telah memprioritaskan ruang pelonggaran moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, setelah pada 2015 kebijakan moneter dipertahankan dengan ketat, dengan orientasi utama kepada stabilitas perekonomian.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di Jakarta, Selasa malam, mengatakan untuk mempertimbangkan kebijakan pelonggaran moneter berikutnya, bank sentral lebih memperhatikan tekanan eksternal yang datang dari potensi kenaikan suku bunga The Federal Reserve dan juga pemulihan perekonomian di China.
Namun, kata Mirza, dampak jangka menengah dan jangka panjang dari Brexit tetap menjadi sorotan dalam radar Bank Sentral, terutama jika berpotensi menganggu stabilitas perekonomian.
"Tidak juga. Pasar keuangan Indonesia itu ketergantungannya lebih besar terhadap kebijakan The Fed dan perekonomian China," kata Mirza, menjawab kemungkinan Brexit akan menghambat kebijakan pelonggaran moneter selanjutnya.
Mirza mencontohkan saat pengumuman hasil refrendum di Inggris, Jumat lalu, tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan juga pasar saham domestik relatif kecil dan hanya sementara.
Hal itu berbeda dengan tekanan yang timbul dari kebijakan The Fed pada April 2016 lalu. Saat itu, setelah rapat Komite Pasar Terbuka The Fed (FOMC), rupiah tertekan karena ekspetasi pelaku pasar bahwa kenaikan bunga The Fed akan terjadi Juni 2016.
Namun, ekspetasi tersebut akhirnya gugur. Dengan minimnya tekanan dari The Fed tersebut, BI pun akhirnya melakukan pelonggaran moneter dengan penurunan suku bunga untuk keempat kalinya tahun, ditambah pelonggaran kebijakan makroprudensial.
Mirza mengatakan peluang pelonggaran moneter berikutnya tetap terbuka, apalagi Gubernur The Fed Jannet Yellen sudah menyatakan bahwa akan sangat "hati-hati" terhadap dampak Brexit. Pernyataan Yellen itu memberikan sinyalamen bahwa The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat.
"Kemungkinannnya mengecil, jadi baru naik kemungkinan pada 2017," ujar dia.
Namun, kata Mirza, BI akan tetap memperhatikan stabilitas perekonomian, sebelum memutuskan kebijakan pelonggaran moneter berikutnya. Secara umum, menurutnya, fundamen perekonomian saat ini semakin kuat, tercermin dari laju inflasi yang terkendali dan defisit transaksi berjalan yang mengecil.
Hingga Juni 2016, BI sudah empat kali menurunkan suku bunga acuan menjadi 6,5 persen dari 7,5 persen. Kebijakan tersebut di luar dari dua pelonggaran instrumen makroprudensial yang diambil pada Juni 2016 lalu.
Bank Sentral pun secara terang-terangan telah memprioritaskan ruang pelonggaran moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, setelah pada 2015 kebijakan moneter dipertahankan dengan ketat, dengan orientasi utama kepada stabilitas perekonomian.