Jakarta, Antara Jateng - Dewan Penasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Imam B Prasodjo mengatakan tujuan pengendalian tembakau bukan untuk melarang rokok dan aktivitas merokok sehingga tidak akan membuat industri tembakau bangkrut.
"Tujuan utamanya adalah mengendalikan tembakau untuk meminimalkan dampak negatifnya. Perokok juga tidak akan seketika berhenti merokok karena sudah kecanduan oleh rokok," kata Imam dalam jumpa pers di Kantor YLBHI, Jakarta, Minggu.
Namun, sosiolog Universitas Indonesia Jakarta itu mengatakan isu pengendalian tembakau selalu mendapat tentangan dari industri rokok. Penyebabnya adalah industri rakus dan ingin menjadikan Indonesia sebagai pasar yang tidak terbatas.
"Kerakusan industri rokok itu dibungkus dalam bentuk beasiswa, penanaman pohon dan mensponsori kegiatan antinarkoba. Itu jelas aneh, rokok yang mengandung zat adiktif mensponsori kegiatan menentang sesama zat adiktif seperti narkoba," tuturnya.
Untuk mengamankan kepentingan pasarnya di Indonesia, industri rokok internasional melakukan tiga hal yaitu menghalangi pembatasan tembakau, mensponsori penelitian bahwa rokok tidak berbahaya dan memobilisasi petani tembakau.
"Karena itu, ada akademisi yang membela rokok karena penelitiannya disponsori industri rokok. Mereka mengatakan bahwa asap rokok tidak seberbahaya asap knalpot," katanya.
Sebelumnya, Panitia Kerja RUU Pertembakauan diketahui mengadakan rapat konsinyering di sebuah hotel berbintang di kawasan Senayan pada Sabtu hingga Minggu (25-26/6).
Rapat di hotel itu mendapat sorotan dari pegiat pengendalian tembakau, termasuk sikap DPR yang terkesan mengebut pembahasan RUU Pertembakauan agar bisa dibawa ke paripurna sebelum Lebaran.
Pasal 226 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR mengatur tentang waktu dan tempat rapat-rapat DPR.
Ayat (1) Pasal tersebut mengatur waktu rapat DPR adalah pada setiap hari kerja, yaitu Senin hingga Jumat. Ayat (2) memungkinkan perubahan waktu rapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan.
Sedangkan Ayat (3) berbunyi "Semua jenis rapat DPR dilakukan di gedung DPR, kecuali ditentukan lain. Rapat dapat dilakukan di luar gedung DPR atas persetujuan pimpinan DPR".
"Tujuan utamanya adalah mengendalikan tembakau untuk meminimalkan dampak negatifnya. Perokok juga tidak akan seketika berhenti merokok karena sudah kecanduan oleh rokok," kata Imam dalam jumpa pers di Kantor YLBHI, Jakarta, Minggu.
Namun, sosiolog Universitas Indonesia Jakarta itu mengatakan isu pengendalian tembakau selalu mendapat tentangan dari industri rokok. Penyebabnya adalah industri rakus dan ingin menjadikan Indonesia sebagai pasar yang tidak terbatas.
"Kerakusan industri rokok itu dibungkus dalam bentuk beasiswa, penanaman pohon dan mensponsori kegiatan antinarkoba. Itu jelas aneh, rokok yang mengandung zat adiktif mensponsori kegiatan menentang sesama zat adiktif seperti narkoba," tuturnya.
Untuk mengamankan kepentingan pasarnya di Indonesia, industri rokok internasional melakukan tiga hal yaitu menghalangi pembatasan tembakau, mensponsori penelitian bahwa rokok tidak berbahaya dan memobilisasi petani tembakau.
"Karena itu, ada akademisi yang membela rokok karena penelitiannya disponsori industri rokok. Mereka mengatakan bahwa asap rokok tidak seberbahaya asap knalpot," katanya.
Sebelumnya, Panitia Kerja RUU Pertembakauan diketahui mengadakan rapat konsinyering di sebuah hotel berbintang di kawasan Senayan pada Sabtu hingga Minggu (25-26/6).
Rapat di hotel itu mendapat sorotan dari pegiat pengendalian tembakau, termasuk sikap DPR yang terkesan mengebut pembahasan RUU Pertembakauan agar bisa dibawa ke paripurna sebelum Lebaran.
Pasal 226 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR mengatur tentang waktu dan tempat rapat-rapat DPR.
Ayat (1) Pasal tersebut mengatur waktu rapat DPR adalah pada setiap hari kerja, yaitu Senin hingga Jumat. Ayat (2) memungkinkan perubahan waktu rapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan.
Sedangkan Ayat (3) berbunyi "Semua jenis rapat DPR dilakukan di gedung DPR, kecuali ditentukan lain. Rapat dapat dilakukan di luar gedung DPR atas persetujuan pimpinan DPR".