Borobudur, Antara Jateng - Mereka tertawa bersama-sama meskipun terasa tidak lepas ketika menyadari bahwa beberapa lembar uang kertas pecahan dolar itu. Kalau dikurskan rupiah, nilainya boleh dianggap relatif cukup banyak.

         Dengan semangat bagai berkobar, Iswanto (35) bercerita tentang tip 10 dolar Amerika Serikat yang diterimanya dari seorang wisatawan mancanegara yang sedang berkunjung ke Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

         Ketika itu, Iswanto bersama lainnya dari grup kesenian rakyat "Wahyu Tri Turonggo Seto" Dusun Kledung Kulon, Desa Sutopati, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, mementaskan tarian kuda lumping di panggung terbuka Taman Lumbini sebelah timur Candi Borobudur.

         Dusun tempat tinggal warga anggota grup kesenian itu berada di kawasan berudara dingin dengan topografi yang tinggi di sekitar desa-desa terakhir sebelum puncak Gunung Sumbing Kabupaten Magelang.

         Letak dusun tersebut relatif cukup jauh dari candi yang juga warisan budaya dunia dengan keramaian kepariwisaannya, termasuk jauh pula dari hiruk pikuk perkotaan di Magelang. Warga setempat yang sehari-hari hidup sederhana dan lugu, hampir sebagai besar menjadi petani, khususnya komoditas hortikultura.

         "Pentasnya sekitar awal bulan lalu (Maret, red.) untuk menghibur turis. Akan tetapi, untuk kelompok kami sekalian uji coba mementaskan Sendratari Kidung Karmawibangga," kata Yudiyanto (30), anggota grup kesenian rakyat tersebut, ketika memperkuat jalinan cerita ringan tentang pengalaman grup itu soal tip berupa uang dolar dari wisman yang diterima sejumlah kawannya.

         Kelompok mereka menjadi salah satu di antara beberapa grup kesenian rakyat dari desa-desa di Kabupaten Magelang, di bawah koordinasi Komunitas Warung Info Jagad Cleguk Borobudur, secara bergiliran berkesempatan pentas di Taman Lumbini Candi Borobudur.

         Komunitas Warung Info Jagad Cleguk Borobudur pimpinan Sucoro selama beberapa tahun terakhir bekerja sama dengan PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, setiap Sabtu mementaskan kesenian rakyat guna menyemarakkan aktivitas kepariwisataan setempat.

         "'Sing song seng, sing song seng'," begitu Iswanto yang tidak paham bahasa Inggris menirukan suara omongan seorang wisman yang mendekatinya waktu itu sambil tersenyum senang karena pementasan grup tersebut, lalu menyodorkan selembar uang kertas pecahan 10 dolar AS kepadanya.

         Dalam pementasan kuda lumping sebagai bagian dari Sendratari Kidung Karmawibangga dengan lakon "Prahara Bumi Sambhara Budhara" tersebut, Iswanto berperan sebagai tokoh Pangeran Sancaka yang gemar mengembara, tekun dalam mencari pengalaman dan ilmu pengetahuan tentang jalan hidup.

         Sebagaimana perwujudan sikap spontan warga desa, Iswanto pun dengan ramah menerima selembar uang kertas dolar itu. Setelah sang wisman meninggalkan dirinya, dia kemudian mengamati ciri-ciri uang yang membuatnya heran karena tidak sama dengan lazimnya yang setiap hari diketahui dalam pecahan rupiah.

         "Saya amati, saya bolak-balik, ada angka 10, ada gambar 'londo' (orang asing, red.). Kok, beda dengan biasanya. Ah, ini apa?" ujarnya bercerita di bawah pohon di Taman Lumbini saat pembukaan agenda seni dan budaya tahunan "Ruwat-Rawat Borobudur" yang diselenggarakan Komunitas Warung Info Jagad Cleguk Borobudur, Senin (18/4).

         "Ruwat-Rawat Borobudur" pada penyelenggaraan tahun ke-13 berlangsung mulai 18 April hingga 1 Juni 2016.

         Ia kemudian membuang begitu saja tip tersebut ke selokan dekat kamar kecil di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur karena ketidaktahuan tentang mata uang dolar.

         Sejumlah orang lainnya dari anggota grup tersebut juga bercerita serupa. Beberapa orang yang juga menerima dari para wisman lainnya, tip dalam bentuk uang dolar saat pentas mereka awal Maret 2016, antara lain Listyo, Dwi Roso, Siswono, dan Listyo Asih, sedangkan Yudiyanto menyimpan tip yang diterimanya dari seorang wisatawan dalam bentuk uang pecahan Rp50 ribu.

         "Yang dikasih kepada saya, saya masukkan saku," ucapnya dalam bahasa Jawa krama.

         Para wisatawan yang memberi tip kepada penari kesenian rakyat itu, mungkin mewujudkan sikap pribadinya yang terpikat atas penampilan mereka dengan tariannya tersebut.

         Namun, harus bisa dipahami juga bahwa mereka sebagai orang desa yang sederhana dan lugu, selama ini belum pernah bersentuhan dengan mata uang selain rupiah.

         Ketika menerima uang dolar, mereka tidak mengerti bahwa itu kertas apa dan bagaimana harus memperlakukannya. Mereka tidak tahu di mana tempat untuk menukarkan uang asing menjadi uang rupiah agar bisa untuk transaksi sehari-hari di desanya.

         Kehadiran kelompok kesenian yang berjumlah sekitar 70 penari dan penabuh iringan gamelan ke Taman Lumbini Candi Borobudur itu, sudah cukup menjadi bagian dari kebanggaan bersama karena beroleh kesempatan menyuguhkan tarian rakyatnya di hadapan para wisatawan Candi Borobudur.

         Mereka selama ini belum berpengalaman menerima tip dari penonton pementasan yang kalangan wisatawan, apalagi dalam wujud uang asing.

         Ihwal pengalaman mereka menerima tip berupa uang dolar disampaikan secara singkat oleh Ketua Komunitas Warung Info Jagad Cleguk Borobudur Sucoro dalam pidato pengantar pembukaan "Ruwat-Rawat Borobudur".

         Pembukaan acara yang juga ditandai dengan pentas kolosal Sendratari Kidung Karmawibangga dan pemukulan gong itu oleh Asisten Deputi Infrastruktur Pelayaran, Perikanan, dan Pariwisata Kemenko Maritim dan Sumber Daya Rahman Hidayat.

         Hadir juga antara lain Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur Chrisnamurti Adiningrum, anggota DPD RI asal Jateng Bambang Sadono, Pelaksana Tugas Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jateng Joko Nugroho Wicaksono, dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edi Susanto.

         "Mereka pernah mendapat pengalaman menerima tip 10 dolar, lalu dibuang begitu saja. Katanya, 'duwit e gambar londo, mboten podho' (uang bergambar orang asing, tidak sama dengan uang rupiah sehingga dianggap tidak laku, red.)," kata Sucoro.
   
      Pengalaman mereka tentu menjadi bagian dari pekerjaan rumah berbagai pihak terkait untuk secara bersama-sama meningkatkan sumber daya kepariwisataan di kawasan Candi Borobudur dan Kabupaten Magelang.

         Kepala Unit Taman Wisata Candi Borobudur Chrisnamurni Adiningrum terkesan bisa mengerti ketidakpahaman mereka soal tip sehingga perlu pemberian informasi menyangkut hal-hal tersebut sebagai bagian dari memperkuat kesadaran masyarakat desa terhadap dunia kepariwisataan.

         "Memang tidak ada larangan menerima tip. Oleh karena itu, tanda apresiasi dari wistawan. Yang penting tidak meminta. Akan tetapi, kalau diberi, harus diterima sebagai tanda penghormatan dan penghargaan," ujarnya.

         Tatkala mendapatkan penjelasan singkat bahwa uang asing itu juga tetap berharga dan bisa ditukar dengan uang rupiah, sejumlah orang yang mendengarkan percakapan Antara dengan Iswanto dan Yudiyanto, mengajak menelusuri ulang uang dolar yang dibuang di selokan di Taman Wisata Candi Borobudur.

         Yang lainnya pun terdengar kompak berseru, "'Yo wis ra ono Kang. Wong yo wis sewulan wingi' (ya sudah tidak ada Mas. Sudah sebulan lalu, red.)."
   
      Sikap bijak pun terungkap Yudiyanto dan Iswanto dengan berujar bahwa tip berupa uang dolar itu belum menjadi rezeki mereka.

         "Harap maklum, kami orang desa," katanya.


Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024