"Ada apa dengan pendidikan hukum kita, sehingga situasinya sekarang kok seperti ini. Banyak doktor, advokat dan sarjana hukum malah menjadi mafia peradilan," kata Prof Muktie, di Malang, Sabtu.
Itu artinya, kata Prof Muktie, tumbuhnya mafia peradilan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir ini justru mlibatkan dan dilakukan mereka yang paham hukum dan berpendidikan tinggi hukum.
Tumbuhnya mafia peradilan, lanjutnya, juga berkorelasi dengan arah pendidikan hukum yang saat ini diajarkan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. "Sekarang pertanyaannya adalah, ada apa dengan pendidikan hukum di negeri ini, yang memunculkan mafia peradilan?," ucapnya.
Oleh karena itu, ujarnya, perlu ada kepedulian bersama dalam memperbaiki moral para penegak hukum agar tidak lagi terlibat dalam lingkaran mafia hukum. "Kita tidak perlu pesimistis, apalagi miris, karena perubahan itu butuh waktu dan perubahan itu memang harus dimulai dari sekarang," ujarnya.
Sementara itu, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun, mengatakan dalam kurun waktu 13 tahun, pola mafia peradilan semakin canggih dengan menggunakan cara-cara baru.
"Saat ini banyak modus baru yang dilakukan para mafia itu, termasuk bagaimana para advokat bermain dan bagaimana terpidana bisa keluar masuk lapas seenaknya, ini adalah bentuk mafia peradilan," kata Tama.
Ia mengemukakan ICW mencatat sepanjang satu dasawarsa terakhir ada puluhan hakim dan advokat yang terlibat praktik mafia peradilan. Hingga 2015, tercatat ada 61 hakim di berbagai tingkatan, sekitar 30 advokat dan tiga kasus di lembaga pemasyarakatan, mewarnai mafia peradilan, bahkan ada beberapa hakim yang kena kasus kode etik malah dipromosikan naik jabatan.
Menurut dia, maraknya kasus korupsi, terjadi karena beberapa hal, di antaranya ringannya sanksi kepada pelaku dan adanya masalah di internal penegak hukum. Oleh karena itu, perlu ada pembenahan para penegak hukum agar mafia peradilan ini bisa ditekan dan diberantas.
Itu artinya, kata Prof Muktie, tumbuhnya mafia peradilan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir ini justru mlibatkan dan dilakukan mereka yang paham hukum dan berpendidikan tinggi hukum.
Tumbuhnya mafia peradilan, lanjutnya, juga berkorelasi dengan arah pendidikan hukum yang saat ini diajarkan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. "Sekarang pertanyaannya adalah, ada apa dengan pendidikan hukum di negeri ini, yang memunculkan mafia peradilan?," ucapnya.
Oleh karena itu, ujarnya, perlu ada kepedulian bersama dalam memperbaiki moral para penegak hukum agar tidak lagi terlibat dalam lingkaran mafia hukum. "Kita tidak perlu pesimistis, apalagi miris, karena perubahan itu butuh waktu dan perubahan itu memang harus dimulai dari sekarang," ujarnya.
Sementara itu, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun, mengatakan dalam kurun waktu 13 tahun, pola mafia peradilan semakin canggih dengan menggunakan cara-cara baru.
"Saat ini banyak modus baru yang dilakukan para mafia itu, termasuk bagaimana para advokat bermain dan bagaimana terpidana bisa keluar masuk lapas seenaknya, ini adalah bentuk mafia peradilan," kata Tama.
Ia mengemukakan ICW mencatat sepanjang satu dasawarsa terakhir ada puluhan hakim dan advokat yang terlibat praktik mafia peradilan. Hingga 2015, tercatat ada 61 hakim di berbagai tingkatan, sekitar 30 advokat dan tiga kasus di lembaga pemasyarakatan, mewarnai mafia peradilan, bahkan ada beberapa hakim yang kena kasus kode etik malah dipromosikan naik jabatan.
Menurut dia, maraknya kasus korupsi, terjadi karena beberapa hal, di antaranya ringannya sanksi kepada pelaku dan adanya masalah di internal penegak hukum. Oleh karena itu, perlu ada pembenahan para penegak hukum agar mafia peradilan ini bisa ditekan dan diberantas.