"Stigma dari masyarakat terhadap penderita kusta ini menunjukkan minimnya pengetahuan mengenai penyakit kusta," kata Sekretaris Perdoski Kota Semarang Dr. dr. Renni Yuniati di Semarang, Senin.
Hal tersebut diungkapkan dokter yang mengambil program doktornya di Universitas Airlangga Surabaya mengenai penyakit kusta itu merefleksikan Hari Kusta Sedunia yang diperingati setiap 25 Januari.
Ia menjelaskan stigma yang berkembang di masyarakat akhirnya menghambat penanganan terhadap penyakit kusta karena munculnya perasaan malu atau takut ketahuan dari penderita atas penyakitnya.
"Zaman Belanda, penderita kusta atau lepra memang 'dibuang' dan diasingkan di sebuah pulau di Madura (Pulau Mandangin, red.). Sampai sekarang, stigma masyarakat tidak bisa lagi begitu," katanya.
Menurut dia, penyakit kusta bisa disembuhkan jika dilakukan penanganan secara dini dan intensif, apalagi obatnya sudah disediakan secara gratis di pusat-pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
"Penderita kusta harus mengonsumsi obat secara rutin dalam jangka satu tahun dan bisa sembuh total. Makanya, masyarakat harus diberikan pemahaman yang benar mengenai penyakit kusta," katanya.
Mestinya, kata Renni, penyuluhan mengenai penyakit kusta harus diberikan kepada masyarakat melalui kegiatan posyandu dan pertemuan rutin warga difasilitasi oleh puskesmas atau Dinas Kesehatan setempat.
"Selama pengetahuan masyarakat mengenai kusta masih minim, ya, tetap saja ada stigma. Makanya, penyuluhan mengenai kusta harus dioptimalkan, termasuk langkah penanganan yang diperlukan," katanya.
Mengenai gejala penyakit kusta yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, ia menerangkan gejalanya diawali dengan munculnya bercak-bercak putih atau merah di kulit yang mati rasa.
"Kalau tidak segera diobati, ya, bisa makin parah. Bahkan, sampai kecacatan. Namun, masa inkubasi bakteri ini bervariasi antara 2-40 tahun. Bergantung dengan kondisi atau daya tahan tubuh," katanya.
Penderita kusta pun bukan hanya orang terpinggirkan, kata Renni yang menyebutkan pasien kusta yang ditanganinya berasal dari berbagai latar belakang, seperti guru, polisi, dan pegawai negeri sipil (PNS).
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang dr Widoyono mengatakan pihaknya tetap memberikan perhatian khusus untuk pencegahan dan penanganan kusta meski prevalensinya tergolong rendah.
"Dibandingkan penyakit-penyakit lain, kusta ini prevalensinya di Kota Semarang tergolong rendah. Namun, kami tetap berikan perhatian khusus, termasuk penyediaan obat gratis di puskesmas," tegasnya.
Hal tersebut diungkapkan dokter yang mengambil program doktornya di Universitas Airlangga Surabaya mengenai penyakit kusta itu merefleksikan Hari Kusta Sedunia yang diperingati setiap 25 Januari.
Ia menjelaskan stigma yang berkembang di masyarakat akhirnya menghambat penanganan terhadap penyakit kusta karena munculnya perasaan malu atau takut ketahuan dari penderita atas penyakitnya.
"Zaman Belanda, penderita kusta atau lepra memang 'dibuang' dan diasingkan di sebuah pulau di Madura (Pulau Mandangin, red.). Sampai sekarang, stigma masyarakat tidak bisa lagi begitu," katanya.
Menurut dia, penyakit kusta bisa disembuhkan jika dilakukan penanganan secara dini dan intensif, apalagi obatnya sudah disediakan secara gratis di pusat-pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
"Penderita kusta harus mengonsumsi obat secara rutin dalam jangka satu tahun dan bisa sembuh total. Makanya, masyarakat harus diberikan pemahaman yang benar mengenai penyakit kusta," katanya.
Mestinya, kata Renni, penyuluhan mengenai penyakit kusta harus diberikan kepada masyarakat melalui kegiatan posyandu dan pertemuan rutin warga difasilitasi oleh puskesmas atau Dinas Kesehatan setempat.
"Selama pengetahuan masyarakat mengenai kusta masih minim, ya, tetap saja ada stigma. Makanya, penyuluhan mengenai kusta harus dioptimalkan, termasuk langkah penanganan yang diperlukan," katanya.
Mengenai gejala penyakit kusta yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, ia menerangkan gejalanya diawali dengan munculnya bercak-bercak putih atau merah di kulit yang mati rasa.
"Kalau tidak segera diobati, ya, bisa makin parah. Bahkan, sampai kecacatan. Namun, masa inkubasi bakteri ini bervariasi antara 2-40 tahun. Bergantung dengan kondisi atau daya tahan tubuh," katanya.
Penderita kusta pun bukan hanya orang terpinggirkan, kata Renni yang menyebutkan pasien kusta yang ditanganinya berasal dari berbagai latar belakang, seperti guru, polisi, dan pegawai negeri sipil (PNS).
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang dr Widoyono mengatakan pihaknya tetap memberikan perhatian khusus untuk pencegahan dan penanganan kusta meski prevalensinya tergolong rendah.
"Dibandingkan penyakit-penyakit lain, kusta ini prevalensinya di Kota Semarang tergolong rendah. Namun, kami tetap berikan perhatian khusus, termasuk penyediaan obat gratis di puskesmas," tegasnya.