Dinas intelijen AS memperkirakan sekitar 30.000 orang dari sekitar 100 negara telah bergabung dengan ISIS. Jumlah itu jauh lebih banyak dari total orang yang berjuang dengan organisasi-organisasi ekstremis islamis berdekade-dekade sebelumnya.
Di Afghanistan sendiri antara 1996 dan 2001, sekitar 10.000 sampai 20.000 orang telah menerima pelatihan jihadis, kebanyuakan di bawah arahan Osama Bin Laden.
Setelah jatuhnya rezim Taliban, banyak dari pejuang-pejuang ini menyebar ke seluruh dunia, dengan membawa serta ideologi dan pemikiran radikal mereka.
Para pejabat mengingatkan bahwa para veteran ekstremis memesankan ancaman jangka panjang yang besar yang sulit diatas institusi-institusi Barat.
"Contohnya gelombang saat ini --sekitar 250 petempur yang kembali (ke Prancis)-- adalah masalah yang rumit," kata seorang pejabat kontrateroris senior Prancis yang meminta namanya tak disebutkan.
Dia mengatakan mayoritas besar akan diadili dan dipenjarakan, dan sisanya diawasi ketat, namun kesulitan mendapatkan bukti saat mengadili para petempur yang kembali ke negerinya membuat kebanyakan mereka hanya dipenjara lima sampai tujuh tahun.
"Itu artinya dalam empat atau lima tahun, begitu keluar penjara, masalah akan kembali timbul," kata sang pejabat. "Untuk itulah kami kini harus bersiap diri, dan mempelajari bagaimana kami bisa mengembalikan orang-orang ini ke masyarakat. Beberapa dari mereka akan mengalami trauma selama bertahun-tahun. Kami mesti memikirkan rehabilitasi. Ini masalah besar."
Lebih buruk dari ISIS
Terlepas dari upaya-upaya militer saat ini menyasar ISIS dengan serangan udara dan juga upaya-upaya diplomatik di Suriah dan Irak, ISIS sudah siap melancarkan perlawanan global untuk bertahun-tahun ke depan dengan mengumpulkan begitu banyak manusia di khilafah yang mereka dirikan.
Memfragmentasikan atau memecah belah ISIS bisa berdampak mengerikan.
"Karena yang paling gigih bertarung dan paling radikal yang akan bertahan, maka akan membuat kita dihadapkan pada hal yang jauh lebih buruk dari ISIS," kata Mathieu Guidere, pakar radikalisasi dari Universitas Toulouse.
"Jangan lupa: kita mengira telah menghancurkan Alqaeda dengan membunuh bin Laden, namun fargmentasi Alqaeda mengantarkan hal yang lebih buruk."
Dihadapkan pada lembaga-lembaga bergerak lamban dari Uni Eropa dan negara-negara Barat lainnya, "kita berisiko selalu satu langkah di belakang perang (melawan terorisme)," sambung Guidere.
"Para jihadis amat sangat mengetahui bagaimana beradaptasi dengan kondisi-kondisi baru. Mereka akan membangun struktur-struktur baru dan membentuk aksi yang menyesuasikan dengan lingkungan mereka, dan menjadi semakin sulit diperangi."
Di daerah kekuasaannya, serangan terhadap ISIS juga kemungkinan memperburuk kekerasan terhadap sipil di kawasan mereka, paling tidak untuk jangka pendek."
"Jika ada pandangan bahwa penduduk setempat membantu merebut kembali wilayah dari ISIS, maka jelas akan ada risiko bahwa ISIS akan menjadi lebih ganas," kata Matthew Henman, kepala Pusat Terorisme dan Perlawanan IHS Jane di London.
"Membidik warga sipil adalah juga cara yang baik untuk merusak keamanan dan stabilitas setelah perebutan daerah, yang menandakan bahwa pemerintah tetap tidak bisa melindungi warga sipil," sambung Henman.
"Mungkin juga akan ada upaya semakin besar untuk mengirim balik para petempur asing ke negeri asal mereka untuk operasi balas dendam."
Seperti terlihat pada serangan Paris 13 November, dinas-dinas keamanan Eropa tak terlalu bisa menyusun dan menganalisis semua limpahan data menyangkut individu-individu dan para kombatan yang telah teradikalisasi yang kembali pulang dari Timur Tengah.
Mereka juga mesti memonitor jihadis-jihadis lama dari perang Bosnia, Afghanistan dan Irak yang bisa kembali ke kerasan kapan saja.
"Lama setelah jatuhnya Daesh (ISIS), seluruh dunia harus membayar bertahun-tahun membutakan diri yang membuat monster jihadis tumbuh di depan pintu Eropa," kata Jean-Pierre Filiu, pakar ekstremisme Islam dari Universitas Sciences Po di Paris.
"Tentu saja negara-negara Eropa, di mana paling sedikit 5.000 jihadis asal benua ini terlibat dengan Daesh, menjadi pihak yang paling terdampak," tutup Jean-Pierre Filiu seperti dikutip AFP.
Di Afghanistan sendiri antara 1996 dan 2001, sekitar 10.000 sampai 20.000 orang telah menerima pelatihan jihadis, kebanyuakan di bawah arahan Osama Bin Laden.
Setelah jatuhnya rezim Taliban, banyak dari pejuang-pejuang ini menyebar ke seluruh dunia, dengan membawa serta ideologi dan pemikiran radikal mereka.
Para pejabat mengingatkan bahwa para veteran ekstremis memesankan ancaman jangka panjang yang besar yang sulit diatas institusi-institusi Barat.
"Contohnya gelombang saat ini --sekitar 250 petempur yang kembali (ke Prancis)-- adalah masalah yang rumit," kata seorang pejabat kontrateroris senior Prancis yang meminta namanya tak disebutkan.
Dia mengatakan mayoritas besar akan diadili dan dipenjarakan, dan sisanya diawasi ketat, namun kesulitan mendapatkan bukti saat mengadili para petempur yang kembali ke negerinya membuat kebanyakan mereka hanya dipenjara lima sampai tujuh tahun.
"Itu artinya dalam empat atau lima tahun, begitu keluar penjara, masalah akan kembali timbul," kata sang pejabat. "Untuk itulah kami kini harus bersiap diri, dan mempelajari bagaimana kami bisa mengembalikan orang-orang ini ke masyarakat. Beberapa dari mereka akan mengalami trauma selama bertahun-tahun. Kami mesti memikirkan rehabilitasi. Ini masalah besar."
Lebih buruk dari ISIS
Terlepas dari upaya-upaya militer saat ini menyasar ISIS dengan serangan udara dan juga upaya-upaya diplomatik di Suriah dan Irak, ISIS sudah siap melancarkan perlawanan global untuk bertahun-tahun ke depan dengan mengumpulkan begitu banyak manusia di khilafah yang mereka dirikan.
Memfragmentasikan atau memecah belah ISIS bisa berdampak mengerikan.
"Karena yang paling gigih bertarung dan paling radikal yang akan bertahan, maka akan membuat kita dihadapkan pada hal yang jauh lebih buruk dari ISIS," kata Mathieu Guidere, pakar radikalisasi dari Universitas Toulouse.
"Jangan lupa: kita mengira telah menghancurkan Alqaeda dengan membunuh bin Laden, namun fargmentasi Alqaeda mengantarkan hal yang lebih buruk."
Dihadapkan pada lembaga-lembaga bergerak lamban dari Uni Eropa dan negara-negara Barat lainnya, "kita berisiko selalu satu langkah di belakang perang (melawan terorisme)," sambung Guidere.
"Para jihadis amat sangat mengetahui bagaimana beradaptasi dengan kondisi-kondisi baru. Mereka akan membangun struktur-struktur baru dan membentuk aksi yang menyesuasikan dengan lingkungan mereka, dan menjadi semakin sulit diperangi."
Di daerah kekuasaannya, serangan terhadap ISIS juga kemungkinan memperburuk kekerasan terhadap sipil di kawasan mereka, paling tidak untuk jangka pendek."
"Jika ada pandangan bahwa penduduk setempat membantu merebut kembali wilayah dari ISIS, maka jelas akan ada risiko bahwa ISIS akan menjadi lebih ganas," kata Matthew Henman, kepala Pusat Terorisme dan Perlawanan IHS Jane di London.
"Membidik warga sipil adalah juga cara yang baik untuk merusak keamanan dan stabilitas setelah perebutan daerah, yang menandakan bahwa pemerintah tetap tidak bisa melindungi warga sipil," sambung Henman.
"Mungkin juga akan ada upaya semakin besar untuk mengirim balik para petempur asing ke negeri asal mereka untuk operasi balas dendam."
Seperti terlihat pada serangan Paris 13 November, dinas-dinas keamanan Eropa tak terlalu bisa menyusun dan menganalisis semua limpahan data menyangkut individu-individu dan para kombatan yang telah teradikalisasi yang kembali pulang dari Timur Tengah.
Mereka juga mesti memonitor jihadis-jihadis lama dari perang Bosnia, Afghanistan dan Irak yang bisa kembali ke kerasan kapan saja.
"Lama setelah jatuhnya Daesh (ISIS), seluruh dunia harus membayar bertahun-tahun membutakan diri yang membuat monster jihadis tumbuh di depan pintu Eropa," kata Jean-Pierre Filiu, pakar ekstremisme Islam dari Universitas Sciences Po di Paris.
"Tentu saja negara-negara Eropa, di mana paling sedikit 5.000 jihadis asal benua ini terlibat dengan Daesh, menjadi pihak yang paling terdampak," tutup Jean-Pierre Filiu seperti dikutip AFP.