Hal ini menjadi angin segar bagi dunia kesehatan Indonesia yang selama ini bergantung pada interferon impor yang berharga mahal.
"Indonesia belum bisa menghasilkan interferon sendiri. Padahal, untuk hepatitis B dan C, pemberian interferon bisa tiga kali seminggu selama sekitar 24-48 minggu, dengan harga sekali suntikan berkisar Rp2,5 juta," ujar peneliti LIPI yang juga Wakil Kepala Laboratorium Protein Terapetik dan Vaksin, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Ratih Asmana Ningrum, di Cibinong, Jawa Barat, Kamis.
Belum lagi, Ratih menambahkan, untuk penderita kanker, pemberian interferon bisa satu kali sehari.
Selain mahal, ketergantungan Tanah Air terhadap protein interferon impor membuat ketersediaan protein antikanker dan antivirus ini terbatas di dalam negeri.
Karena itulah para peneliti LIPI berupaya keras mengembangkan protein interferon alfa-2a. Bahkan, lembaga riset Indonesia ini ingin melompat lebih jauh, yaitu bagaimana meningkatkan efektivitas protein dan melakukan modifikasi demi menurunkan intensitas pemberian obat.
"Modifikasi dilakukan dengan human serum albumin, yang belum pernah dilakukan di dunia. Jadi misalnya penyuntikan dosisnya tiga kali seminggu, bisa diturunkan menjadi sekali dalam dua minggu," tutur Ratih.
Riset ini sendiri sudah berjalan selama dua tahun. Protein dikembangkan melalui organisme yeast Pichia pastoris, yaitu sejenis ragi hasil modifikasi.
Namun, Ratih tidak dapat memastikan kapan penelitian ini akan selesai dan didistribusikan untuk masyarakat. Ada beberapa kendala yang dihadapi seperti keterbatasan dana dan hal-hal teknis.
"Kami coba atasi semua permasalahan itu dengan usaha sebaik-baiknya. Jika semuanya lancar mungkin dalam waktu 8-10 tahun bisa diselesaikan," kata dia.
Ratih melanjutkan, proses-proses yang masih harus dilalui sebelum menyatakan protein interferon ini layak diberikan ke masyarakat seperti karakterisasi protein (jika protein sudah berhasil didapat), uji preklinis, uji klinis dan pendaftaran.
"Di atas semuanya, kami ingin penelitian ini dapat meningkatkan harapan hidup pasien di Indonesia," ujar Ratih.
"Indonesia belum bisa menghasilkan interferon sendiri. Padahal, untuk hepatitis B dan C, pemberian interferon bisa tiga kali seminggu selama sekitar 24-48 minggu, dengan harga sekali suntikan berkisar Rp2,5 juta," ujar peneliti LIPI yang juga Wakil Kepala Laboratorium Protein Terapetik dan Vaksin, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Ratih Asmana Ningrum, di Cibinong, Jawa Barat, Kamis.
Belum lagi, Ratih menambahkan, untuk penderita kanker, pemberian interferon bisa satu kali sehari.
Selain mahal, ketergantungan Tanah Air terhadap protein interferon impor membuat ketersediaan protein antikanker dan antivirus ini terbatas di dalam negeri.
Karena itulah para peneliti LIPI berupaya keras mengembangkan protein interferon alfa-2a. Bahkan, lembaga riset Indonesia ini ingin melompat lebih jauh, yaitu bagaimana meningkatkan efektivitas protein dan melakukan modifikasi demi menurunkan intensitas pemberian obat.
"Modifikasi dilakukan dengan human serum albumin, yang belum pernah dilakukan di dunia. Jadi misalnya penyuntikan dosisnya tiga kali seminggu, bisa diturunkan menjadi sekali dalam dua minggu," tutur Ratih.
Riset ini sendiri sudah berjalan selama dua tahun. Protein dikembangkan melalui organisme yeast Pichia pastoris, yaitu sejenis ragi hasil modifikasi.
Namun, Ratih tidak dapat memastikan kapan penelitian ini akan selesai dan didistribusikan untuk masyarakat. Ada beberapa kendala yang dihadapi seperti keterbatasan dana dan hal-hal teknis.
"Kami coba atasi semua permasalahan itu dengan usaha sebaik-baiknya. Jika semuanya lancar mungkin dalam waktu 8-10 tahun bisa diselesaikan," kata dia.
Ratih melanjutkan, proses-proses yang masih harus dilalui sebelum menyatakan protein interferon ini layak diberikan ke masyarakat seperti karakterisasi protein (jika protein sudah berhasil didapat), uji preklinis, uji klinis dan pendaftaran.
"Di atas semuanya, kami ingin penelitian ini dapat meningkatkan harapan hidup pasien di Indonesia," ujar Ratih.