"Kelima panti ABH tersebut dibangun di Nganjuk Jawa Timur, Lampung, Padang, Jambi, dan Banjarmasin," katanya saat melakukan kunjungan kerja di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Antasena Magelang, Jawa Tengah, Kamis.
Ia menuturkan dengan dibangunnya panti ABH baru tersebut kini ada 10 panti ABH di seluruh Indonesia, termasuk PSMP Antasena.
Ia mengatakan ABH sebenarnya dipayungi dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dalam UU SPPA yang diterbitkan tahun 2013 mestinya lima tahun kemudian seluruh provinsi di Indonesia sudah memiliki panti ABH.
"Pada posisi sekarang, ketika baru punya lima panti ABH, maka yang dari Kalimantan Timur dan beberapa provinsi lain dibawa ke sini. Ke depan harapannya proses perlindungan dan pengasuhan itu bisa didekatkan dengan domisili anak," katanya.
Ia mengatakan ABH di PSMP Antasena kasus terbanyak 60 persen karena kekerasan seksual, Panti ABH di Mataram 75 persen kekerasan seksual, baru di bawahnya karena kasus pencurian, penganiayaan, dan narkoba.
Ia mengatakan pada posisi seperti ini ternyata banyak faktor muncul karena pengasuhan di dalam keluarga.
Menurut dia Kemensos sudah menerbitkan buku standar nasional pengasuhan anak (SNPA), tetapi yang memanfaatkan referensi SNPA ini rata-rata panti, bukan keluarga.
"Para orang tua harus memahami bagaimana cara mengasuh anaknya supaya tumbuh kembang anak di dalam keluarga itu mendapat proses pengasuhan yang baik, karena di sekolah adanya proses transformasi keilmuan, transformasi pendidikan, pengasuhan itu hampir tidak ada," katanya.
Ia mengatakan kalau ada proses pendidikan, proses transformasi sikap, perilaku, dan transformasi keilmuan maka pengasuhan itu biasanya hanya ada di "boarding school" atau di pesantren. Tetapi sebagian besar pendidikan nonboarding school dan nonpesantren," katanya.
Ia menuturkan dengan dibangunnya panti ABH baru tersebut kini ada 10 panti ABH di seluruh Indonesia, termasuk PSMP Antasena.
Ia mengatakan ABH sebenarnya dipayungi dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dalam UU SPPA yang diterbitkan tahun 2013 mestinya lima tahun kemudian seluruh provinsi di Indonesia sudah memiliki panti ABH.
"Pada posisi sekarang, ketika baru punya lima panti ABH, maka yang dari Kalimantan Timur dan beberapa provinsi lain dibawa ke sini. Ke depan harapannya proses perlindungan dan pengasuhan itu bisa didekatkan dengan domisili anak," katanya.
Ia mengatakan ABH di PSMP Antasena kasus terbanyak 60 persen karena kekerasan seksual, Panti ABH di Mataram 75 persen kekerasan seksual, baru di bawahnya karena kasus pencurian, penganiayaan, dan narkoba.
Ia mengatakan pada posisi seperti ini ternyata banyak faktor muncul karena pengasuhan di dalam keluarga.
Menurut dia Kemensos sudah menerbitkan buku standar nasional pengasuhan anak (SNPA), tetapi yang memanfaatkan referensi SNPA ini rata-rata panti, bukan keluarga.
"Para orang tua harus memahami bagaimana cara mengasuh anaknya supaya tumbuh kembang anak di dalam keluarga itu mendapat proses pengasuhan yang baik, karena di sekolah adanya proses transformasi keilmuan, transformasi pendidikan, pengasuhan itu hampir tidak ada," katanya.
Ia mengatakan kalau ada proses pendidikan, proses transformasi sikap, perilaku, dan transformasi keilmuan maka pengasuhan itu biasanya hanya ada di "boarding school" atau di pesantren. Tetapi sebagian besar pendidikan nonboarding school dan nonpesantren," katanya.