Penggunaan istilah "memasuki krisis", "sudah dalam krisis", atau "masih masa kritis, bukan krisis", belakangan ini memang menjadi perdebatan yang tak berkesudahan untuk memotret kondisi ekonomi terakhir ini. Terminologi itu menjadi tidak penting bagi mayoritas rakyat yang saat ini tengah dilanda kesulitan berlapis.

Bersikap optimistis memang sebuah keharusan. Akan tetapi, kenyataan yang dihadapi banyak warga memang tidak hanya cukup dengan mengiyakan ajakan bersikap optimismtis memandang masa depan.

Harga kebutuhan cenderung naik, daya beli menurun. Kekeringan pun terjadi di mana-mana. Ancaman pemecatan kerja juga menghantui banyak pekerja, terutama di sektor manufaktur yang bahan bakunya banyak kandungan impornya.

Sejumlah warga di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, dikabarkan terpaksa menjual ternaknya untuk membeli air. Sejumlah pabrik juga mulai mengurangi jam kerja. Rintihan ibu rumah tangga atas semakin tergerusnya lembaran rupiah di tangan bakul "blanjan" juga kian bikin pilu.

Data terakhir yang diterbitkan Badan Pusat Statistik menegaskan bahwa bangsa ini memang sedang menghadapi masalah klasik berupa kemiskinan.

Jumlah penduduk miskin di perkotaan bertambah. Dari 10.36 juta jiwa (8,16 persen) pada September 2014 menjadi 10,65 juta penduduk (8,29 persen). Kondisi di perdesaan lebih menyedihkan.Tercatat pada September 2014 mencapai 17,37 juta orang (13,76 persen), lalu naik menjadi 17,94 juta (14,21 persen) pada Maret 2015.

Kondisi umum pasca-Maret 2015 tampaknya tidak lebih baik dibanding sebelumnya. Indikasinya, rupiah terus melemah. Bahkan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah mengungkapkan melemahnya rupiah menyebabkan sektor manufaktur mengalami kesulitan produksi. Jika rupiah terus melemah, gelombang PHK bakal menerpa.

Ekses dari krisis multimedimensi pada 1997-1998 belum lenyap dari ingatan sebagian besar penduduk dewasa. Bangsa Indonesia tentu tidak ingin pengalaman pahit tersebut kembali terulang. Harganya terlalu mahal. Penderitaannya juga terlalu panjang.

Syukurlah rakyat memiliki kemampuan bertahan (survival). Ini sekaligus menjadi modal penting bagi bangsa ini dalam menghadapi ketidakpastian global di masa depan. Ketika dunia kembali dilanda krisis finansial pada 2008, Indonesia sukses melewatinya. Bahkan saat itu masih mencatat pertumbuhan ekonomi. Salah satu kuncinya, kala itu pemerintah mendorong perekonomian domestik.

Kita sangat berharap pemerintah di bawah kendali Presiden Joko Widodo menempuh segala daya untuk mendorong laju roda perekonomian.Tugas pemerintah memang memerintah, bukan mengimbau. Jadi, bila ada yang melenceng, wajib baginya untuk meluruskannya agar tidak keluar dari rel. Kepercayaan rakyat yang diberikan pada Pemilu Legilsatif dan Pemilu Presiden 2014 harus sebesar-besarnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Bukan malah asyik sendiri merancang kenaikan gaji pejabat tinggi, misalnya.

Kita menyambut gembira rencana pemerintah yang akan menerbitkan sejumlah paket kebijakan ekonomi yang diyakini bakal menggerakkan perekonomian domestik lebih kencang lagi, termasuk mempercepat pelaksanaan proyek yang didanai APBN dan APBD.

Deregulasi dan debirokratisasi mungkin dua istilah yang klise. Namun sesungguhnya bangsa ini memang masih menghadapi masalah akut di bidang perizinan dan birokrasi. Oleh karena itu, deregulasi dan debirokratisasi tetaplah relevan untuk dilakukan pada saat ini.

Sebagai sebuah bangsa besar, baik besar dari luas wilayah maupun jumlah penduduknya, Indonesia memiliki potensi untuk bangkit dan maju lebih jauh ketimbang negara-negara tetangga.

Sebagai bangsa yang punya pengalaman panjang dalam "survival", bangsa ini diyakini mampu melewati tantangan dan ancaman pada saat ini. Syaratnya, pemerintah mampu menyalakan lampu pemandu serta menjaga garis bagi seluruh elemen untuk bergerak maju. ***







Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024