"Kami sudah mengajukan surat kepada pemerintah tentang RUU KUHP, pada intinya kami menyampaikan delik-delik tindak pidana korupsi (tipikor) tidak diintegrasikan ke dalam RUU KUHP, karena integrasi tersebut akan bermakna bahwa delik tipikor bukan lagi sebagai tindak pidana khusus, tapi menjadi tindak pidana umum. Akibatnya justru akan terjadi deligitimasi wewenang KPK memeriksa kasus tipikor," kata pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Selasa.
Kemarin, Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana juga datang ke KPK dan berdiskusi dengan pimpinan KPK yaitu Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi Sapto Pribowo untuk membahas RUU KUHP tersebut.
"Begitu pula dengan delik-delik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) agar tidak diintegrasikan ke dalam RUU KUHP dengan akibat yang sama terhadap KPK," tambah Indriyanto.
Alasan lain adalah adanya asas "Lex Specialis" pada RUU KUHP menyatakn secara tegas dan jelas tetap mempertahankan delik-delik tindak pidana korupsi yang tidak berdampak pada delegitimasi kelembagaan KPK.
"Andai tetap saja delik tipikor diintegrasikan kepada RUU KUHP, harus ada penegasan bahwa penegak hukum, termasuk KPK, tetap memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan kasus tipikor atas delik-delik tipikor yang ada di dalam RUU KUHP maupun di luar KUHP. Tanpa masukan ini, dikhawatirkan terjadi delegitimasi kewenangan KPK atas kasus-kasus korupsi," jelas Indriyanto.
Bila masukan itu tidak didengarkan Indriyanto khawatir ada pelemahan KPK.
"Bila tidak (didengar), maka KPK menjadi macan tanpa taring alias macan ompong saja," tegas Indriyanto.
Senada dengan Indriyanto, Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Lalola Easter juga meminta agar pemerintah dan DPR mengeluarkan delik korupsi dan delik-delik lain yang termasuk dalam tindak pidana luar biasa, dari RUU KUHP.
"Delik tipikor perlu tetap dibuat di luar RUU KUHP karena sepatutnya RUU KUHP hanya mengatur tindak-tindak pidana yang bersifat umum (generic crimes). Jika ke depannya ada perkembangan modus atau bentuk tindak pidana korupsi, proses pembaharuan peraturannya akan sangat menyulitkan, manakala delik korupsi diatur dalam RUU KUHP," kata Lalola dalam pernyataan tertulis.
Menurut Lalola, memasukkan delik korupsi ke dalam RUU KUHP, akan menghilangkan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa.
"Hal ini juga berimplikasi pada kerja lembaga-lembaga independen yang kewenangannya diatur dalam UU khusus yang diatur di luar RUU KUHP. Penanganan perkara korupsi juga akan serupa dengan penanganan perkara pidana biasa. Kewenangan-kewenangan dan penanganan luar biasa sebagaimana yang kini dimiliki oleh KPK, tidak dapat lagi diterapkan. Artinya, yang menjadi dasar kewenangan penindakan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP akan diatur pula secara umum dalam RUU KUHAP," tambah Lalola.
Kemarin, Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana juga datang ke KPK dan berdiskusi dengan pimpinan KPK yaitu Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi Sapto Pribowo untuk membahas RUU KUHP tersebut.
"Begitu pula dengan delik-delik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) agar tidak diintegrasikan ke dalam RUU KUHP dengan akibat yang sama terhadap KPK," tambah Indriyanto.
Alasan lain adalah adanya asas "Lex Specialis" pada RUU KUHP menyatakn secara tegas dan jelas tetap mempertahankan delik-delik tindak pidana korupsi yang tidak berdampak pada delegitimasi kelembagaan KPK.
"Andai tetap saja delik tipikor diintegrasikan kepada RUU KUHP, harus ada penegasan bahwa penegak hukum, termasuk KPK, tetap memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan kasus tipikor atas delik-delik tipikor yang ada di dalam RUU KUHP maupun di luar KUHP. Tanpa masukan ini, dikhawatirkan terjadi delegitimasi kewenangan KPK atas kasus-kasus korupsi," jelas Indriyanto.
Bila masukan itu tidak didengarkan Indriyanto khawatir ada pelemahan KPK.
"Bila tidak (didengar), maka KPK menjadi macan tanpa taring alias macan ompong saja," tegas Indriyanto.
Senada dengan Indriyanto, Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Lalola Easter juga meminta agar pemerintah dan DPR mengeluarkan delik korupsi dan delik-delik lain yang termasuk dalam tindak pidana luar biasa, dari RUU KUHP.
"Delik tipikor perlu tetap dibuat di luar RUU KUHP karena sepatutnya RUU KUHP hanya mengatur tindak-tindak pidana yang bersifat umum (generic crimes). Jika ke depannya ada perkembangan modus atau bentuk tindak pidana korupsi, proses pembaharuan peraturannya akan sangat menyulitkan, manakala delik korupsi diatur dalam RUU KUHP," kata Lalola dalam pernyataan tertulis.
Menurut Lalola, memasukkan delik korupsi ke dalam RUU KUHP, akan menghilangkan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa.
"Hal ini juga berimplikasi pada kerja lembaga-lembaga independen yang kewenangannya diatur dalam UU khusus yang diatur di luar RUU KUHP. Penanganan perkara korupsi juga akan serupa dengan penanganan perkara pidana biasa. Kewenangan-kewenangan dan penanganan luar biasa sebagaimana yang kini dimiliki oleh KPK, tidak dapat lagi diterapkan. Artinya, yang menjadi dasar kewenangan penindakan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP akan diatur pula secara umum dalam RUU KUHAP," tambah Lalola.