"BKKPIJ masih menyimpan beberapa tongkol jagung Bonia di bank gen sejak tiga tahun lalu dan baru kami kembangkan tahun ini. Kami melakukan pemurnian dan kemudian memperbanyak benih," kata Kepala Sub Bidang Diseminasi dan Informasi Harga Jagung BKPPIJ, Asriani di Gorontalo, Senin.
Sementara, jagung pulut atau nama lokal "binthe pulu" yang mulai jarang ditanam oleh petani.
Menurutnya pengembangan varietas jagung lokal perlu dilakukan untuk mempertahankan kelestariannya dan memberikan peluang ekonomi yang lebih baik bagi petani jagung lokal.
"Misalnya untuk jagung pulut harganya cukup mahal karena tiga tongkol dijual lima ribu rupiah. Sedangkan jagung hibrida yang melimpah saat ini harga paling tinggi seribu rupiah per tongkol," ujarnya.
Untuk mendapatkan kembali plasma nutfah varietas Bonia, BKPPIJ menggandeng sebuah komunitas jejaring pangan lokal bernama "Boni-boni'a" yang terdiri dari sejumlah orang yang hobi berkebun, aktivis, guru, PNS, hingga jurnalis.
"Jenis pulut masih ditanam oleh sebagian kecil petani di Pohuwato dan Kabupaten Gorontalo sehingga tidak sulit untuk mengembangkannya. Namun untuk Bonia kami harus menelusuri kembali dari awal mengenai ketahanan hidup varietas ini," kata Mohammad Syah Reza, salah seorang anggota komunitas tersebut.
Ia menanam kedua varietas tanpa perlakuan khusus untuk melihat pertumbuhan alami dan hasil panen nanti akan menjadi plasma nutfah yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan selanjutnya.
Praktisi Biologi di Gorontalo, Syamsudin Ayub mengungkapkan Bonia masih dikonsumsi masyarakat setempat sekitar tahun 1970 namun kemudian tidak dibudidayakan lagi.
Menurutnya, Bonia memiliki biji dengan tiga warna dalam satu tongkol yakni ungu, kuning dan putih dan diduga sebagai hasil penyerbukan silang secara alami antara jagung pulut dan varietas lokal lainnya yakni motoro kiki.
"Warna kuningnya dari motoro kiki, putih dari pulut dan warna ungunya kemungkinan adalah hasil mutasi genetik. Sedangkan nama Bonia itu berasal dari Bahasa Gorontalo yaitu hi boni-boni'a, artinya bermacam-macam," imbuhnya.
Sementara, jagung pulut atau nama lokal "binthe pulu" yang mulai jarang ditanam oleh petani.
Menurutnya pengembangan varietas jagung lokal perlu dilakukan untuk mempertahankan kelestariannya dan memberikan peluang ekonomi yang lebih baik bagi petani jagung lokal.
"Misalnya untuk jagung pulut harganya cukup mahal karena tiga tongkol dijual lima ribu rupiah. Sedangkan jagung hibrida yang melimpah saat ini harga paling tinggi seribu rupiah per tongkol," ujarnya.
Untuk mendapatkan kembali plasma nutfah varietas Bonia, BKPPIJ menggandeng sebuah komunitas jejaring pangan lokal bernama "Boni-boni'a" yang terdiri dari sejumlah orang yang hobi berkebun, aktivis, guru, PNS, hingga jurnalis.
"Jenis pulut masih ditanam oleh sebagian kecil petani di Pohuwato dan Kabupaten Gorontalo sehingga tidak sulit untuk mengembangkannya. Namun untuk Bonia kami harus menelusuri kembali dari awal mengenai ketahanan hidup varietas ini," kata Mohammad Syah Reza, salah seorang anggota komunitas tersebut.
Ia menanam kedua varietas tanpa perlakuan khusus untuk melihat pertumbuhan alami dan hasil panen nanti akan menjadi plasma nutfah yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan selanjutnya.
Praktisi Biologi di Gorontalo, Syamsudin Ayub mengungkapkan Bonia masih dikonsumsi masyarakat setempat sekitar tahun 1970 namun kemudian tidak dibudidayakan lagi.
Menurutnya, Bonia memiliki biji dengan tiga warna dalam satu tongkol yakni ungu, kuning dan putih dan diduga sebagai hasil penyerbukan silang secara alami antara jagung pulut dan varietas lokal lainnya yakni motoro kiki.
"Warna kuningnya dari motoro kiki, putih dari pulut dan warna ungunya kemungkinan adalah hasil mutasi genetik. Sedangkan nama Bonia itu berasal dari Bahasa Gorontalo yaitu hi boni-boni'a, artinya bermacam-macam," imbuhnya.