"Sejauh ini harga jual springbed sendiri belum mengalami kenaikan, kenaikan terakhir karena dampak dari kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu," katanya pada pembukaan pameran Springbed di Mal Paragon Semarang, Rabu.

Menurutnya, besaran kenaikan harga springbed karena BBM tersebut mencapai 15-25 persen. Meski demikian, jika dolar AS tidak segera turun maka dalam waktu 2-3 bulan mendatang kenaikan harga springbed bisa kembali terjadi.

"Kenaikan harga ini bisa saja terjadi karena sampai saat ini masih ada sebagian bahan baku pembuatan springbed didatangkan dari luar negeri, salah satunya untuk dakron dengan kualitas baik," katanya.

Pihaknya mengatakan, untuk saat ini penguatan dolar AS belum berpengaruh terhadap harga springbed karena sebagian besar springbed dengan merek luar negeri sudah diproduksi di Indonesia. Bahkan, sebagian di antaranya diproduksi di Semarang di antaranya untuk merek comforta dan bigland.

Pertimbangan dilakukannya produksi di Indonesia karena ongkos pembuatan dan harga jual lebih murah dibandingkan jika diproduksi di luar negeri. Kondisi tersebut karena adanya penghematan dari sisi pajak dan ongkos pengiriman.

Menurutnya, hanya satu merek yang tidak diproduksi di Indonesia dan masih impor dari Amerika Serikat yaitu King Koil, karena memang merek ini kualitasnya sangat bagus dengan segmentasi penjualan hanya untuk menengah ke atas. Oleh karena itu, harga yang tinggi tidak memengaruhi daya beli segmentasi tersebut.

Sementara itu, jika dibandingkan dengan sejumlah kota besar di kawasan Jateng, daya beli masyarakat Semarang sendiri masih tergolong baik. Dari sembilan pameran yang sudah pernah diselenggarakan oleh Rumah Kita Springbed dan Furniture, penjualan didominasi oleh produk dengan harga antara Rp3-25 juta.

"Dari yang sudah-sudah penjualan untuk kisaran harga tersebut berkontribusi sekitar 75 persen, sedangkan selebihnya dikontribusikan oleh springbed dengan harga Rp40-45 juta," katanya.

Pewarta : Aris Wasita
Editor : hernawan
Copyright © ANTARA 2024