Setiap kali memasuki musim hujan para sukarelawan maupun petugas lebih intensif memantau kondisi sejumlah sungai yang berhulu di Gunung Merapi untuk mengetahui apakah ada potensi banjir lahar jika terjadi hujan.

Ketika di kawasan maupun puncak Merapi hujan, laporan dari menit ke menit melalui alat komunikasi selalu tersiar untuk mengantisipasi banjir lahar hujan yang muncul karena setiap hari sejumlah alur sungai di lereng Merapi dipenuhi aktivitas para penambang.

Jika di atas puncak Merapi hujan lebat dan berpotensi menimbulkan banjir lahar, informasi itu disampaikan kepada para penambang yang berada di bawah agar cepat meninggalkan sungai karena ada banjir lahar.

Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang Joko Sudibyo mengatakan bahwa semua sungai yang berhulu di Gunung Merapi tingkat kerawanannya masih berimbang.

"Mulai dari Sungai Pabelan, Bebeng, Putih, hingga Sungai Lamat, pada musim hujan ini masih berpotensi terjadi banjir lahar dengan catatan butuh curah hujan yang cukup tinggi atau ekstrem di kawasan Merapi," katanya.

Ia menuturkan bahwa material Merapi masih relatif cukup banyak. Namun, karena sekarang abunya sudah menipis sehingga kurang dapat memicu terjadinya banjir lahar kalau curah hujan relatif kecil.

Joko Sudibyo mengatakan kondisinya memang agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya pascaerupsi Merapi 2010. Pada waktu itu abunya masih tebal terkena hujan sedikit saja bisa menimbulkan banjir lahar.

Meskipun kondisinya tidak begitu mengkhawatirkan seperti tahun 2011, kata dia, masyarakat di sekitar aliran sungai yang berhulu di Merapi tersebut untuk meningkatkan kewaspadaan selama musim hujan, terutama mereka yang beraktivitas di sungai, yakni para penambang pasir.

Ia menuturkan kemungkin banjir lahar tidak sebesar pascaerupsi 2010. Namun, banjir lahar sekecil apa pun mempunyai kekuatan yang cukup besar karena selalu membawa material.

"Oleh karena itu, saat terjadi banjir lahar, orang yang beraktivitas di sungai harus segera menyingkir karena kekuatan banjir lahar luar biasa, apalagi manusia, truk besar yang biasa mengangkut pasir bisa hancur ketika diterjang banjir lahar," katanya.

Seperti yang terjadi pada hari Rabu (19/11), sebanyak empat truk terjebak banjir lahar dan dua truk lainnya terseret puluhan meter hingga mengalami rusak parah.

Keenam truk tersebut menjadi korban banjir lahar Merapi saat akan mengangkut pasir di hulu Sungai Bebeng di Desa Kaliurang, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Namun, kedua truk yang yang terseret banjir lahar mengalami rusak parah pada bagian bodi truk.

Berdasarkan informasi sukarelawan di kawasan Merapi, pada pukul 13.00 WIB terjadi hujan deras di puncak Merapi. Selanjutnya, 20 menit kemudian sukarelawan Peduli Merapi menginformasikan munculnya sinyal ancaman banjir melalui radio komunitas HT

Sukarelawan pun meminta para penambang pasir untuk menyingkir dari alur sungai karena ada potensi banjir lahar. Pada pukul 13.30 WIB saat keenam truk akan menyingkir, banjir lahar keburu datang dan menerjang sejumlah truk tersebut.

"Truk tersebut terjebak banjir saat akan menepi. Namun, belum sampai di tempat yang aman sudah terseret banjir," kata Bayu, saksi mata.

Joko Sudibyo menuturkan bahwa banjir lahar di Sungai Bebeng tersebut merupakan banjir skala kecil yang membawa material lokal, bukan dari puncak Merapi.

Ia mengimbau para penambang di alur sungai untuk tetap waspada mengingat ancaman banjir lahar hujan Merapi masih cukup besar.

Waspada Bencana
Selain ancaman banjir lahar Merapi di sepanjang aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi, kawasan Kabupaten Magelang juga memiliki potensi bencana puting beliung dan tanah longsor pada saat musim hujan.

Joko Sudibyo mengatakan bahwa banjir lahar tergantung curah hujan di puncak Merapai. Musim hujan tahun ini agak mundur, seharusnya pada bulan Oktober sudah musim hujan, saat ini memasuki November baru musim hujan.

Pada masa peralihan musim atau masa pancaroba, ancaman angin langkisau (puting beliung) atau angin kencang berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Magelang.

Ia mengatakan bahwa pada awal musim hujan ini di beberapa wilayah di Kabupaten Magelang telah terjadi angin langkisau, antara lain di Kecamatan Borobudur, Mertoyudan, Salam, Salaman, dan Pakis.

Menurut dia, ancaman angin langkisau merata di seluruh wilayah. Namun, hanya kawasan yang dalam sejarahnya pernah terkena angin puting beliung biasanya berulang.

"Jadi, kalau di kawasan itu pernah terkena biasanya pada waktu-waktu berikutnya akan berulang, seperti di Kragilan Kecamatan Pakis, tahun lalu di dekatnya di Pogalan juga terjadi hal sama sehingga di kawasan tersebut potensi puting beliung," katanya.

Sampai saat ini, kata dia, belum ada teknologi yang mampu mendeteksi kawasan rawan angin langkisau secara pasti.

Masa pancaroba diperkirakan hingga pertengahan Desember 2014, kemudian masuk puncak musim hujan diprediksi pada bulan Januari 2015.

Pada puncak musim hujan, kata Joko Sudibyo, bencana tanah longsor juga berpotensi terjadi di Kabupaten Magelang. Pada puncak musim hujan air tanah jenuh sehingga tanah lembek, licin, dan terjadi beban berat pada tanah karena kandungan air tinggi yang bisa berpotensi longsor.

Menurut dia, ada tiga kawasan berponsi terjadi longsor di Kabupaten Magelang, yakni di perbukitan Menoreh, lereng Gunung Sumbing, dan lereng Gunung Merbabu.

Ia menyebutkan di kawasan perbukitan Menoreh daerah rawan longsor, antara lain di Kecamatan Borobudur dan Salaman, kemudian kawasan lereng Merbabu, meliputi Kecamatan Ngablak, pakis, dan Sawangan. Sementara itu, di kawasan lereng Sumbing, meliputi Kecamatan Windusari, Bandongan, Kaliangkrik, dan Kajoran.

Menyikapi sejumlah ancaman bencana tersebut, BPBD Kabupaten Magelang membuka Posko Siaga Bencana selama 24 jam yang melibatkan unsur BPBD, PMI, SAR, dan sukarelawan.

"Guna mengantisipasi bencana pada musim hujan, kami juga melakukan sosialisasi, baik melalui media massa maupun langsung ke desa-desa, melaksanakan rakor antisipasi musim hujan dengan mengundang seluruh muspika sehingga manakala terjadi bencana semua sudah siap untuk diterjunkan," katanya.

Selain sosialisasi kepada masyarakat, kata dia, BPBD juga melakukan pelatihan. Melalui program unggulan penanggulangan bencana berbasis masyarakat, yakni ada desa tangguh bencana di desa di luar kawasan Merapi dan ada desa bersaudara di kawasan Merapi.

"Harapannya desa-desa itu mempunyai tim siaga bencana, masyarakatnya sadar bencana karena detik awal terjadinmya bencana itu milik mereka. Kalau masyarakat paham dan terampil sehingga mereka mampu menolong diri mereka sendiri tanpa menunggu bantuan dari pihak luar," katanya.

Ia mencontohkan bencana angin langkisau dan tanah longsor itu kejadiannya hanya dalam hitungan menit.

"Kami ingin menciptakan masyarakat tangguh bencana yang secara mandiri mampu mengkaji ancaman yang ada di sekitarnya. Kalau terjadi bencana, mereka mampu untuk melakukan penanganan bencana dengan penyelamatan, pertolongan, dan evakuasi mereka lakukan sendiri. Kalau semua sudah terbangun, pemerintah dan unsur yang lain tinggal 'back up' apa kekurangannya," katanya.

Pewarta : Heru Suyitno
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024