Jakarta (ANTARA) - Pendekatan storynomics tourism yang dilakukan pemerintah mendapat sambutan hangat dari akademisi, sebagai upaya untuk meningkatkan interpretasi terhadap suatu tempat atau obyek pariwisata.

"Ini kan sebetulnya cerita tentang mengembangkan narasi. Jadi kalau di pariwisata sebetulnya kami biasa mengenal itu dengan istilah interpretasi," kata Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila Devi Roza Krishnandi Kausar, saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Dalam pandangan Devi, perlu dibangun interpretasi pada suatu tempat atau obyek pariwisata. Ia memberi contoh Danau Toba di Sumatra Utara. Pendekatan yang ada selama ini lebih banyak sekedar menceritakan keindahan Danau Toba, dan tidak terlalu banyak mengangkat cerita di baliknya seperti bahwa Danau Toba dulunya merupakan super volcano.

Storynomics tourism merupakan pendekatan baru pemerintah untuk mendongkrak ekonomi dari kegiatan pariwisata. Pendekatan ini diterapkan pada lima kawasan super prioritas yakni Danau Toba, Borobudur, Manado, Mandalika, dan Labuan Bajo.

Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Irfan Wahid diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo untuk memimpin tim Quick Win, yang akan menangani pengembangan potensi wisata tersebut.

Devi menuturkan bahwa pendekatan interpretasi bukan hal baru dalam bidang pariwisata budaya dan pariwisata ekologi. Penerapan konsep buah pikiran Freeman Tilden tersebut diharapkan dapat mengubah perilaku para pengunjung, untuk bukan saja sekedar mengerti tempat atau obyek pariwisatanya namun juga mampu mengapresiasi.

Sedangkan storynomic sendiri diadaptasi dari dunia pemasaran buah pikiran Robert McKee. Dengan mempersiapkan cerita yang bagus, proses pemasaran menjadi berbedar. Sebuah cerita yang memiliki nilai ekonomi dapat menarik orang dalam mengambil suatu keputusan pembelian.

Perempuan yang mengambil gelar Doktornya di Universitas Nagoya itu kemudian memberikan dua contoh, yakni es krim Ben and Jerry's serta Coco Channel. Dua produk tersebut dapat memiliki tempat di hati para konsumen, karena bukan hanya menjual barang, mereka juga menawarkan cerita yang menarik di balik produk tersebut.

"Kalau diterapkan di pariwisata setahu saya berarti ini dekat dengan interpretasi. Artinya menceritakan tentang suatu destinasi atau daya tarik wisata dengan serius, jadi narasinya, kemudian nilai-nilai apa yang ingin dikedepankan," paparnya.

Baca juga: Pengamat: Benahi dulu destinasi wisatanya, sebelum dipasarkan

Baca juga: Asita NTT dukung pengembangan Storynomics Tourism

Pewarta: A Rauf Andar Adipati
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019