Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KemenLHK) menyatakan penanganan hukum tegas terus dilakukan, namun kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar (TSL) masih saja terjadi, salah satu faktor penyebabnya adalah karena pelaku ingin mengejar keuntungan finansial

"Di Indonesia saat ini seluas 27,41 juta hektare kawasan konservasi, ada 5.800 lebih desa yang berbatasan langsung yang memiliki penduduk sekitar 9,5 juta jiwa. Kalau tidak mendapat manfaat dari hutan, mereka akan melakukan apa saja apalagi ada iming-iming uang," ujar Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan biasanya karena dikasih uang muka terlebih dulu, membuat warga di sekitar wilayah konservasi menjadi tergoda.

Wiranto menyontohkan dengan kasus di Desa Tanggahan di Langkat, sekitar tahun 1970-an sampai akhir 2000.

"Dulu turun-temurun ilegal logging. Setelah mereka sadar, mereka kembangkan ekowisata. Mereka kini yang menjaga dan tiap minggu membersihkan jerat kalau masih ada jerat di kawasan itu," kata Wiratno.

Oleh karena itu, kata dia, sosialisasi perlu terus dilakukan karena penindakan hukum bukan satu-satunya cara, namun penegakan hukum perlu dilakukan untuk melakukan efek jera.

Senada dengan Wiratno, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan kejahatan TSL dapat terjadi karena orang tidak tahu itu suatu kejahatan.

"Kami melihat lifestylenya juga tumbuh. Padahal memelihara satwa juga suatu kejahatan, maka harus dilakukan tindakan. Perhatian publik terhadap satwa liar mesti meningkat, pengurangan permintaan stok satwa liar juga penting dilakukan," ujar dia.

Berdasarkan rilis KemenLHK yang diterima Rabu, pada tahun 2017 sampai Juli 2019, aparat penegak hukum telah melakukan 536 operasi penangkapan pelaku peredaran ilegal satwa liar. Dari kasus tersebut, 797 pelaku berhasil diamankan dan 380 pelaku di antaranya telah dijatuhi vonis oleh hakim berupa hukuman penjara dan denda. Sedangkan 104 kasus lainnya masih dalam tahap penyidikan dan proses persidangan.

Jika dilihat dari tipe kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku, 163 dari 536 kasus tersebut masih berupa perdagangan yang dilakukan secara konvensional. 155 kasus penyelundupan satwa dilakukan antarkota, provinsi dan antarnegara. Tipe kejahatan lainnya yang juga tidak kalah tinggi adalah perdagangan satwa liar ilegal secara daring sebanyak 113 kasus.

Dia mengatakan pelaku kejahatan TSL cukup beragam. Ada aktor individu, tapi ada juga kelompok terorganisir karena diduga ada keterlibatan pihak korporasi. Selain itu ada juga orang-orang yang punya pengaruh yang mendukung kejahatan (trans national actor), karena ada satwa-satwa dikirim ke luar negeri.

"Masyarakat mesti paham itu dampaknya serius, karena rantai ekosistem harimau hilang. Babi hutan meningkat, rusak pertanian. Kekayaan hayati lain juga rusak," ujar pria yang akrab disapa pak Roy itu.

Kejahatan TSL itu suatu kejahatan luar biasa, padahal menurutnya Indonesia kaya karena punya spesies endemik yang banyak. Kehilangan satu saja satwa endemik, kerugian yang ditimbulkan bisa miliaran.

Oleh karena itu, keberhasilan penyelamatan sangat tergantung pada kerja sama yang efektif dari semua komponen baik pemerintah, swasta, LSM, maupun masyarakat untuk pelaku peredaran satwa ilegal.

Baca juga: KemenLHK libatkan polisi internasional hentikan perdagangan TSL
Baca juga: Jampidum: hukum berat pelaku kejahatan satwa liar

 

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019