Alasan pengunduran diri saya karena banyak hal yang tidak benar dalam proyek tersebut. Proyek tersebut berpotensi merugikan perusahaan
Jakarta (ANTARA) - Komisaris independen PT Krakatau Steel Tbk (Persero) Roy Maningkas mengajukan pengunduran diri dari jabatannya terkait kisruh proyek Blast Furnace (pengolahan biji besi menjadi logam besi panas dan produk hilir) yang menelan biaya sekitar Rp10 triliun.

"Alasan pengunduran diri saya karena banyak hal yang tidak benar dalam proyek tersebut. Proyek tersebut berpotensi merugikan perusahaan," kata Roy Maningkas, di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa.

Roy menjelaskan surat pengunduran diri dilayangkan bersamaan dengan surat dissenting opinion (pendapat yang berbeda) soal proyek operasional Blast Furnace.

Surat permohonan diri sudah disampaikan sejak tanggal 11 Juli 2019.

"Sesuai dengan jawaban pak Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno pengunduran diri saya efektif berlaku 30 hari sejak 11 Juli 2019," kata Roy Maningkas.

"Saya sudah beberapa kali bertemu Pak Deputi, namun terakhir pada tanggal 22 Juli dibalas hanya melalui WA bahwa pengunduran saya diri diterima," ujarnya.

Menurut Roy yang menjabat Komisaris Independen sejak April 2015 ini, alasan pengunduran dirinya karena banyak hal pada proyek tersebut yang tidak masuk akal dan dipaksakan.

Ia menjelaskan proyek ini sesungguhnya harus dioperasikan tahun 2011, namun terus molor hingga 72 bulan.

Akibat terjadinya over run atau kelebihan waktu mulai beroperasi, investasi yang seharusnya Rp7 triliun akhirnya membengkak sekitar Rp3 triliun menjadi sekitar Rp10 triliun.

Namun, tambah Roy, sekitar Juni 2019 Direksi Kraktau Steel menyampaikan proyek yang bekerja sama dengan kontraktor Capital Engineering and Research Incorporation Limited (MCC CERI) asal China ini, siap beroperasi.

Padahal menurut pendapat dewan komisaris proyek ini harus dilakukan kajian dari konsultan independen terlebih dulu, karena fasilitas ini sensitif dari sisi kehandalan dan keamanan proyek.

Alasan proyek ini dipaksakan, karena operasionalnya diperkirakan hanya dua bulan sesuai dengam keterbatasan ketersediaan bahan baku.

Roy juga mengetahui alasan direksi mengoperasikan proyek tersebut agar tidak menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), memenuhi kesepakatan dengan CERI padahal bahan baku hanya untuk dua bulan.

"Operasi proyek ini semacam akal-akalan dan kepentingan yang lebih besar dari direksi, karena CERI sendiri sudah tiga kali melakukan amandemen penguluran waktu tidak ada masalah," ujarnya.

Sesungguhnya, kata Roy, Dewan Komisaris sudah meminta berkali-kali agar dilakukan audit bisnis maupun audit teknologi, namun tidak pernah dilakukan.

"Tidak ada kepastian siapa yang bertanggung jawab terhadap proyek ini, baik teknis maupun kerugian keuangan," katanya.

Ia menambahkan potensi kerugian karena proyek dipaksakan yaitu harga pokok produksi (HPP) slab baja yang dihasilkan dari proyek ini lebih mahal 82 dolar AS per ton jika dibandingkan harga pasar.

"Jika produksi 1,1 juta ton per tahun, maka potensi kerugian Krakatau Steel bisa mencapai sekitar Rp1,3 triliun per tahun," tegas Roy.

Baca juga: Direktur Krakatau Steel Wisnu Kuncoro segera disidangkan

Baca juga: Ribuan buruh alih daya PT Krakatau Steel demo tolak PHK


 

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019