Pelajaran penting yang bisa diambil bahwa penyelenggara pemilu berdiri di atas semua peserta, teguh, berintegritas, adil, imparsial dan tidak partisan."
Surabaya (ANTARA) - Pengamat politik sekaligus peneliti Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam menilai pemberhentian jabatan Ketua Badan Pengawas Pemilu Kota Surabaya, Hadi Margo Sambodo oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) jadi pelajaran berharga bagi penyelenggara pemilu lainnya.

"Pelajaran penting yang bisa diambil bahwa penyelenggara pemilu berdiri di atas semua peserta, teguh, berintegritas, adil, imparsial dan tidak partisan," kata Surokim kepada ANTARA di Surabaya, Kamis.

Baca juga: DKPP jatuhkan sanksi bagi mantan anggota PPLN Kuala Lumpur

Baca juga: DKPP jatuhkan sanksi peringatan kepada Komisioner KPU Solok Selatan

Baca juga: DKPP usulkan diskualifikasi sebagai sanksi pelanggaran pemilu


Diketahui hasil sidang putusan DKPP di Jakarta pada Selasa (17/7) yang tertuang dalam salinan sidang pleno kode etik dan pedoman penyelenggaraan Pemilu bernomor 87-PKE-DKPP/V/2019 menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan ketua kepada Hadi Margo Sambodo selaku ketua merangkap anggota Bawaslu Surabaya sejak dibacakan putusan.

Selain itu menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada teradu IV Muhamamad Agil Akbar selaku anggota Bawaslu Surabaya. Menjatuhkan sanksi peringatan kepada teradu II Yaqub Baliyya, teradu III Usman dan teradu V Hidayat yang masing-masing sebagai anggota Bawaslu Surabaya.

DKPP juga memerintahkan Bawaslu RI untuk melaksanakan putusan tersebut terhadap Teradu I (Hadi Margo) paling lambat tujuh hari sejak putusan dibacakan. DKPP juga memerintahkan Bawaslu Jatim untuk melaksanakan putusan tersebut terhadap Teradu II (Yaqub Baliyya), Teradu III (Usman), Teradu IV (Aqil Akbar) dan Teradu V (Hidayat) paling lambat tujuh hari sejak putusan dibacakan.

Menurut Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo ini, keberpihakan pada salah satu calon termasuk salah satu "dosa besar" yang tidak terampuni dalam konteks penyelenggaraan pemilu.

"Jadi penting untuk bersikap hati-hati dan cermat. Sikap hati-hati ini patut saya garis bawahi mengingat kompleksitas masalah yang bisa timbul dalam pemilu langsung khususnya pemilu legislatif," ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, publik kian kritis dan melek politik sehingga penyelenggara harus bisa introspeksi agar bisa berdiri tegak adil bagi semua peserta pemilu. DKPP sudah memberi putusan dan harus dilaksanakan serta semua pihak wajib menghormati sebagai bagian dari upaya menjaga pemilu terhormat dan bermartabat.

"Ingat dosa dan kesalahan akan bisa menghasilkan sanksi sesuai tingkatan mulai dari yang berat hingga ringan sesuai tingkat kesalahan dan itu akan jadi portofolio sebagai pejabat publik menyangkut kehormatan. Kiranya semua itu harus menjadi alarm bagi penyelenggara pemilu agar selalu memegang teguh prinsip kehati-hatian," katanya.

Sebenarnya, kata dia, sanksi terberat bagi penyelenggara yang diberi sanksi DKPP bukan pencopotan jabatan semata, tetapi menurutnya ada hal yang jauh lebih substantif adalah kehilangan kehormatan, legitimasi dan respek dari publik.

"Tapi menurut saya secara etis sudah kehilangan kehormatan dan rasanya bekerja dalam situasi seperti ini, respek kena sanksi etis itu jelas terbebani," katanya.

Bagi yang membaca kode etik penyelenggara pemilu, lanjut dia, sanksi itu sesungguhnya berat dan jika boleh menyarankan akan lebih terhormat memilih mundur untuk memperoleh respek sekaligus meletakkan tradisi baru dalam etika politik kepemiluan.

"Jika ada yang berani menempuh jalan itu sungguh luar biasa dan layak diacungi jempol," katanya.

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019