Jakarta (ANTARA) - Keseringan lupa akan sesuatu, seperti lupa membawa kunci, meninggalkan telepon genggam saat akan bekerja dan kemudian harus kembali ke rumah untuk mengambilnya, serta kejadian sejenis yang terjadi pada manusia, agaknya tidak bisa dianggap remeh.

Anggapan bahwa kelupaan semacam itu adalah hal biasa saja, akan menjadi "tidak biasa" bila kemudian berulang beberapa kali, dan bahkan meningkat menjadi sering kali.

"Itu (kasus kelupaan) adalah gejala-gejala di mana demensia mulai melanda seseorang," kata dokter ahli saraf Indonesia, dr Andreas Harry SpS (K).

"Dan itu, bisa terjadi bukan saja di kalangan lanjut usia (lansia), pun saat ini kasusnya juga dialami kalangan usia muda," tambahnya.

Ahli saraf yang menyelesaikan studi spesialisnya di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang juga anggota "International Advance Research" Asosiasi Alzheimer Internasional (AAICAD) itu, selalu menghadiri pertemuan tahunan Konferensi Internasional Alzheimer (The Alzheimer's Association International Conference/AAIC), yang tempatnya selalu bergantian, antara Eropa dan Amerika Serikat.

Dalam ajang tahunan yang membahas persoalan penyakit alzheimer dan demensia itu, ribuan peneliti dan ahli kedokteran klinis dari berbagai negara membahas perkembangan terkini mengenai penyakit tersebut, termasuk terapi-terapi masa depan yang bisa dilakukan bagi pasien demensia dan alzheimer.

Permasalahan demensia pada jamaah haji Indonesia, kini juga menjadi hal yang muncul.

Saat masih di Tanah Air, sedang berada di Tanah Suci pun, demensia juga sudah terjadi dan dialami oleh calon haji.

Wakil Ketua Bidang Kesehatan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Surabaya, Jawa Timur, dr Acub Zaenal, Minggu (14/7) mengemukakan dua orang calhaj tertunda keberangkatannya ke Tanah Suci pada musim haji 2019 karena dinyatakan mengalami demensia.

"Ada dua orang berusia lanjut yang mengalami gangguan memori setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan akhir," katanya dan menambahkan calhaj lansia itu tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 14 asal Kabupaten Probolinggo dan dalam kloter 20 asal Kabupaten Malang.

Keduanya oleh dokter dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut serta menentukan gradasi dari demensia yang dialami, apakah termasuk ringan, sedang atau berat. "Dua calon haji ini ternyata termasuk pada demensia berat," kata Acub Zaenal.

Selain mengalami demensia berat, kedua calhaj tersebut berangkat seorang diri tanpa pendamping sehingga dianggap tidak layak terbang dan keluarga membawanya kembali pulang ke daerah masing-masing.

Di Tanah Suci, Kepala Pelayanan Medik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Madinah, dr Az Hafid Nashar, Sp.JP mengemukakan bahwa gejala demensia juga dialami oleh jamaah haji laki-laki yang berusia 76 tahun dari Surabaya.

Kasus lainnya, pernah terjadi tahun sebelumnya pada seorang haji Jambi yang tergabung pada kelompok terbang (kloter) 21 atas nama Jenati (77), asal Kabupaten Tanjungjabung Timur. Ia terpaksa dipulangkan lebih awal (tanazzul) ke Tanah Air karena mengalami gangguan demensia.


Sindroma berkurangnya memori

Pada sebuah diskusi ilmiah bertema "Tipe Demensia Alzheimer" di Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (IPB), Andreas Harry menjelaskan bahwa demensia (kepikunan) adalah sindroma klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan berkurangnya domain memori yang menyebabkan gangguan aktivitas kehidupan sehari-hari.

"Demensia bersifat progresif bertahap, dan pada penderitanya tetap dalam keadaan sadar (normal consiousness)," katanya pada Pada diskusi yang diikuti sejumlah peneliti yang juga kandidat master (S2) dan doktor (S3) itu.

Ia merujuk konferensi dokter ahli syaraf dunia tentang penyakit Alzheimer yang berlangsung di Paris, Prancis pada Juli 2011 sudah memperkirakan bahwa penderita demensia di negara-negara berkembang -- termasuk di Indonesia -- akan meningkat dramatis.

"Di negara-negara berkembang, jumlah penderita demensia akan meningkat lebih dramatis selama dekade berikutnya, diperkirakan tiga sampai kali lipat lebih tinggi daripada di negara maju," kata dosen pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta dan pengajar luar biasa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar 1996-2001 itu.

Secara epidemiologi, di AS maupun Eropa, prevalensi maksimal penderita demensia pada usia lanjut (demensia senilis) sebesar lima persen pada populasi yang berusia lebih 65 tahun.

Persentase ini, kata dia, meningkat menjadi 20 persen pada populasi yang berusia lebih 80 tahun. "Penyakit Alzheimer diperkirakan sebesar 60 persen dari seluruh penderita demensia," katanya menambahkan.

Ia mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian epidemiologi di Amerika Serikat, prevalensi penyakit Alzheimer sebesar tiga persen pada populasi berusia 60-74 tahun, 18,7 persen pada populasi berusia 75-84 tahun, dan 47,2 persen pada populasi berusia lebih dari 85 tahun.

"Sehingga diperkirakan pada tahun 2040 terdapat 14 juta penderita Alzheimer dan menjadi penyebab kematian nomor 4 di Amerika Serikat," katanya

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) Prof Dr Mohammad Hasan Machfoed, SpS (K) pada ASEAN Neurological Association (ASNA) 2011 di Sanur, Bali, menjelaskan prevalensi demensia di Indonesia belum ada angka resminya. Namun, ia memperkirakan angkanya di kisaran lima hingga tujuh persen.

"Kalau di luar negeri (angka prevalensinya) langsung bisa diketahui karena datanya ada, sedangkan kalau di kita (Indonesia) tidak. Angka (di Indonesia) cukup tinggi, namun jumlah pastinya secara resmi belum ada," katanya.

Dikemukakannya bahwa di Indonesia, demensia itu makin banyak karena yang utama dari aspek usia.

"Demensia menjadi penting karena usia harapan hidup itu makin lama makin tinggi, sedangkan demensia itu penyakitnya orang tua bukan anak-anak, dengan demikian dengan kondisi tersebut maka timbul kelainan yang disebut demensia," katanya.

Tes minimental

Menanggapi fenomena demensia pada calhaj Indonesia, khususnya bagi kelompok lansia, Andreas Harry menyarankan perlunya dilakukan "minimental test" guna mengetahui tingkatan penyakit demensia itu.

"Paling mudah dengan 'minimental test' sehingga akan diketahui apakah tingkatannya masih dalam stadium normal, demensia ringan, sedang, ataupun berat," katanya.

"Minimental test" itu ada sejumlah komponen kognitif dengan nilai normal 30.

Ia mengemukakan bahwa pasien di tes dengan pertanyaan-pertanyaan yang bernilai, misalnya siapa nama Presiden RI dan lainnya.

"Ada daftar bakunya, kemudian di 'score', dan kemudian bisa diketahui seseorang itu demensia ringan, sedang atau berat," katanya.

Dikemukakannya bahwa batas usia "dementia sporadic" adalah 65 tahun, di mana 5 persen pada kelompok populasi 65 tahun itu, sedangkan pada kelompok usia 70 tahun itu ada 10 persen demensia.

"Dan tiap tahun meningkat dua kali lipat," katanya.

Kondisi itu, kata dia, terjadi akibat adanya faktor risiko yaitu proses penuaan dengan, seperti ada tanda stroke, diabetes, jantung, tidak berolahraga, diet daging berlebihan, tidak makan sayur, merokok dan hipertensi

"Sebaiknya pasien demensia, khususnya mereka yang melaksanakan ibadah haji mesti ada pendampingan," katanya.

Melihat masalah demensia yang terjadi pada jamaah haji, ia menyarankan sebaiknya pasien demensia, khususnya mereka yang melaksanakan ibadah haji harus mendapatkan pendampingan agar ibadah berjalan maksimal.

Baca juga: Ahli: minimental tes bisa petakan tingkat demensia jamaah haji

Baca juga: Demensia kerap dijumpai pada jamaah haji lansia

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019