Dengan laporan epidemiologi itu persoalan demensia di Indonesia harus ditangani secara serius, khususnya pada kelompok lanjut usia (lansia)
Jakarta (ANTARA) - Konferensi internasional Alzheimer (The Alzheimer's Association International Conference/AAIC) 2019 di Los Angeles Amerika Serikat menyatakan bahwa epidemiologi pada 10 tahun ke depan untuk kasus alzheimer disease (AD) atau demensia meningkat tajam pada negara berkembang.

"Saat ini ada 5,8 juta penderita demensia di AS, dengan angka kematian nomor 4," kata ahli penyakit saraf Indonesia, dr Andreas Harry SpS (K) saat menghubungi ANTARA dari Los Angeles, AS, Selasa.

Andreas Harry adalah peserta konferensi tahunan dari Indonesia yang diselenggarakan The Alzheimer's Association International Conference (AAIC), yang pada 2019 diselenggarakan di Los Angeles, AS, sejak 14 Juli dan akan berakhir pada Kamis (18/7) mendatang.

Dengan laporan epidemiologi yang disampaikan itu, ia melihat bahwa persoalan demensia di Indonesia harus ditangani secara serius, khususnya pada kelompok lanjut usia (lansia).

Pada konferensi tahunan yang dihadiri 3.000 peserta yang terdiri atas peneliti dan ahli kedokteran klinis dari berbagai negara itu, katanya, juga membahas agenda terkini lainnya mengenai alzheimer dan demensia.

Menurut Andreas Harry -- ahli saraf lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang juga anggota "Advance Research Alzheimer's" -- topik tersebut adalah diagnosa dini yang akurat dementia dengan membandingkan hasil biomarker cairan otak (liquor laboratory) dengan "brain imaging MRI morphometry" dan Positron Emission Tomography (PET) scan FDG (Fluorodeoxyglucose)", dan Radioligant (radiology result).

Topik lainnya, kata dia, adalah pemeriksaan cairan otak penderita down syndrome (mongoloid ) yang makin banyak penderitanya dengan ciri khas terdapat kelainan chromosom 21 triple X dibandingkan dengan penderita "Familial Alzheimer's Disease" (FAD), yang juga terdapat kelainan mutasi APP pada chromosom 21.

Ia juga menjelaskan topik sangat menarik lainnya dalam konferensi itu adalah bahasan mengenai terapi masa depan demensia (the future therapy Alzheimer Disease (AD) tentang immunisasi pasif dan aktif terhadap antigen beta amyloid 40 dan 42 sebagai benda sangat toksik pada penderita demensia.

Sementara itu, Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, saat lokakarya mengenai lansia di Jakarta (5/7) menyatakan kelompok lansia akan mengalami degenerasi dan akan terkait dengan penyakit-penyakit degeneratif.

Ia menyebut penyakit yang biasa terjadi pada lansia di antaranya demensia atau alzheimer itu.

"Oleh karena itu kita harus siap. Harapan kami sebelum lansia, kita sudah menjaga kesehatan kita. Mudah-mudahan di waktu lansia tidak ada penyakit yang diderita karena 'cost'-nya semakin lama bisa semakin mahal jika kita tidak memperhatikan kesehatan di usia lanjut," kata Menkes.

Ia mengatakan jumlah penduduk lansia diprediksi meningkat setiap tahun. Karena itu, Menkes meminta kepada masyarakat untuk menjaga kesehatannya sebelum menjadi lansia.

Menkes menambahkan jumlah lansia diasumsikan akan meningkat.

Berdasarkan data Bappenas 2013, kata dia, proyeksi penduduk Lansia 2010-2035 terus meningkat, pada 2010 jumlah lansia mencapai 18,0 juta jiwa (7,56 persen), kemudian 25,9 juta jiwa (9,7 persen) pada 2019, 27,1 juta jiwa (9,99 persen) pada 2020, 42,0 juta jiwa (13,82 persen) pada 2030, dan 48,2 juta jiwa (15,77 persen) pada 2035.

Baca juga: Demensia kerap dijumpai pada jamaah haji lansia

Baca juga: Berpendidikan lebih tinggi bisa perlambat efek demensia? Ini kata studi

Baca juga: Empat pilar terapi untuk tingkatkan kualitas hidup orang dengan demensia

 

Pewarta: Andi Jauhary
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019