Sempurnakan segera bila masih ada yang dianggap kurang dan percepat pengesahannya bila mungkin
Jakarta (ANTARA) - Pembahasan RUU Pertanahan di DPR untuk kemudian disahkan menjadi UU pada tahun ini dinilai perlu dilanjutkan sebagai upaya merealisasikan amanat Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

"Jangka waktu penantian selama 18 tahun sebenarnya sudah lebih dari cukup. Jangan sampai regulasi ini senasib dengan 'saudara tua'-nya, yakni UU 5 Tahun 1960 (UU Pokok Agraria) yang sejak lahir dikerdilkan, “ kata Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Sudarsono Soedomo di Jakarta, Senin.

Pernyataan itu disampaikannya menanggapi desakan Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) yang meminta agar pengesahan RUU Pertanahan ditunda dan pembahasannya dilanjutkan pada DPR periode 2019-2024.

Menurut Sudarsono, jutaan rakyat Indonesia selama puluhan tahun telah hidup dalam ketidakpastian akibat ketidakjelasan status tanah mereka.

“Menunda pengesahan RUU Pertanahan bukan opsi. Sempurnakan segera bila masih ada yang dianggap kurang dan percepat pengesahannya bila mungkin," katanya.

Dia berpendapat, pembenahan masalah pertanahan harus segera dilakukan, apalagi label kawasan hutan sudah sangat mengganggu dan menghambat pembangunan nasional.

Saat ini, dari luas izin penggunaan kawasan, hanya kurang dari lima persen dinikmati rakyat kecil, sementara lebih dari 50 persen perusahaan besar pemegang izin tidak aktif dan membiarkan arealnya terlantar.

"Terlalu jelas bahwa pemanfaatan lahan berlabel kawasan hutan sangat jauh dari keadilan," katanya.

Senada itu pengamat hukum kehutanan dan Lingkungan Dr Sadino berpendapat bahwa pembahasan RUU tersebut harus dilanjutkan.

"Ada beberapa aturan yang sudah usang dan perlu diperbaharui," katanya.

Semangat RUU Pertanahan itu adalah memperbaiki pemanfaatan tata ruang, tambahnya, kalau KLHK menyebut ruang kritis 20 persen mestinya harus ada solusinya .

Seharusnya, kata Sadino, lahan kritis itu tidak dibiarkan menjadi lahan tidur, padahal ada solusi lain, yakni dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan yang terus meningkat.

Apalagi, tantangan yang dihadapi pada masa depan hanya terbatas pada upaya peningkatan produksi tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.

"Tantangan ini bisa dijawab dengan memanfaatkan lahan yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian produktif," katanya.

Baca juga: Aliansi Petani Indonesia tolak pengesahan draf terakhir RUU Pertanahan
Baca juga: Para Dekan Fakultas Kehutanan minta pengesahan RUU Pertanahan ditunda
Baca juga: REI minta draft RUU PA segera disahkan demi kepastian hukum

Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019