Jakarta (ANTARA) - Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta seluruh kuasa hukum pemohon perkara sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 untuk dapat memahami maksud permohonannya terutama dalam petitum permohonan.

"Bahwa ada perbedaan yang mendasar antara pemilu ulang, penghitungan suara ulang, dan pemungutan ulang. Ini harus dipahami, nanti petitum dan maksudnya jadi 'jaka sambung naik ojek', ga nyambung gitu ya," ujar Saldi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.

Baca juga: 11 perkara PHPU Legislatif Jatim disidangkan

Baca juga: KPU harap raih kesuksesan lagi hadapi sengketa pileg

Baca juga: MK gelar sidang pendahuluan PHPU Legislatif



Saldi mengatakan hal tersebut dalam sidang pendahuluan sengketa Pileg 2019 di ruang sidang Panel II, yang memeriksa sengketa Pileg 2019 daerah pemilihan Papua.

Saldi mengatakan petitum permohonan harus jelas karena mengandung konsekuensi yuridis yang harus dilaksanakan.

Saldi mengatakan pihaknya memperhatikan bahwa seringkali menemukan di dalam permohonan terdapat inkonsistensi, serta permohonan dengan petitum yang tidak relevan terkait dengan pemilu ulang, pemungutan suara ulang, dan penghitungan suara ulang.

"Jangan Anda nanti jangan salah menyebutnya, kalau salah jadi kabur permohonannya. Dan ini saya ingatkan kepada seluruh kuasa hukum yang mewakili para pemohon ya," ujar Saldi.

Hakim Konstitusi Aswanto yang memimpin persidangan di ruang sidang Panel II kemudian meminta Komisi Pemilihan Umum untuk membantu menjelaskan perbedaan antara pemilu ulang, penghitungan suara ulang, dan pemungutan suara ulang.

"Semua memang sama-sama pakai kata ulang, tapi harus dipahami betul karena konsekuensi yuridisnya berbeda. Nanti dalam sidang selanjutnya KPU mungkin bisa membantu menjelaskan perbedaannya," kata Aswanto.

Adapun sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan KPU, Bawaslu, dan pihak terkait, akan digelar MK pada Senin (15/7).

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019