Jakarta (ANTARA) - Para pencari suaka yang mendiami sekitar Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kalideres, Jakarta Barat, dianggap menjadi salah satu masalah sosial karena hidup layaknya gelandangan.

"Lihat saja mereka tidur di pinggir trotoar, padahal sudah disediakan tempat Rudenim," ujar Benny, salah satu warga di Jalan Peta Selatan, Jakarta Barat, Rabu.

Keluhan warga itu berdasar karena di depan Rudenim, mereka hanya bermodalkan tikar untuk tempat tinggal. Bahkan mereka hanya menggantungkan hidupnya dari belas kasih relawan.

Pengungsi dan pencari suaka tak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Mereka juga tak bisa menerima beragam program jaminan sosial, termasuk akses pendidikan dan kesehatan.

Tanpa izin bekerja dan bantuan dari pemerintah Indonesia, para pengungsi ini tentunya kesusahan membiaya hidup mereka dan keluarga mereka.

Tedjo Purwono, seorang petugas keamanan di kawasan pertokoan megah mengatakan kehidupan mereka seperti sudah tak memiliki harapan.

Meski begitu, warga juga banyak yang telah membantu dengan memberikan ruang tak terpakai di pertokoan untuk mereka tinggali. Persis di depan tempatnya berjaga, terdapat sebuah gedung yang difungsikan untuk menampung sebagian pencari suaka.

Tiga lantai itu disekat menggunakan kain tipis serta tripleks sisa sebagai tempat penampungan sementara. Dari satu lantai sempit bisa dihuni hingga 30 orang. Bau pesing pun tercium saat menaiki tangga.

"Saya sebenarnya jaga pertokoan saja, tapi warga banyak mengeluh ketika keluar dari kompleks toko. Jadi terpaksa saya yang mengatur mereka," kata dia.

Keberadaan para pencari suaka juga dikeluhkan oleh pemilik warung depan kompleks pertokoan megah. Awalnya ia merasa empati terutama kepada anak-anak. Namun seiring berjalannya waktu mereka justru sering meminta dagangannya.

"Mereka ngambil-ngambil bahkan banyak yang ngutang. Apalagi orang Somalia, sudah berapa keitung dan pasti engga akan membayar. Toh uangnya juga engga punya," kata pemilik warung tersebut.

Apalagi, kata dia, saat relawan tengah membagikan makanan, baik orang tua maupun anak-anak saling berebut dan tak jarang terjadi perkelahian di antara mereka.

Baca juga: Pemerintah Indonesia telah deportasi 108 WNA dari Riau

Baca juga: Rudenim minta rencana sekolahkan pengungsi anak jangan dipaksakan


Merawat Harapan

Saat siang hari, anak-anak berusia enam hingga 17 tahun "nongkrong" di depan warung dengan bermain gawai maupun sekedar ngobrol menunggu bantuan datang. Sementara orang tua mereka hanya tiduran di gedung tak terpakai itu.

Dari balik tirai kain, muncul seorang laki-laki yang fasih menggunakan bahasa Indonesia. Laki-laki itu bernama Mohammad Ali yang berusia 25 tahun asal Afganistan.

Ali bercerita bahwa dia telah tinggal di Indonesia sejak 2014. Ia kabur dari negaranya untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Ia datang sendirian karena ayah dan ibunya meninggal akibat perang.

"Saya dari Afganistan ke India lalu ke Malaysia dan transit di Indonesia," kata dia.

Ali adalah salah satu dari sejumlah pengungsi dan pencari suaka yang menunggu di Indonesia sebelum ditempatkan kembali di negara baru.

Indonesia hanya bisa menjadi tempat transit sementara, sebelum UNHCR menentukan negara ketika yang akan mengadopsi seorang pengungsi.

Cerita pun berlanjut. Ali berasal dari etnis Hazara, etnis yang dimusuhi oleh etnis Pasthun. Saat berada di negara asalnya, etnis Pasthun tak segan-segan untuk melukai bahkan membunuh Hazara.

"Teman-teman saya jadi korban, banyak yang meninggal," kata dia.

Hingga lima tahun bergelantung pada nasib tak jelas di Indonesia, ia bersama yang lainnya masih tetap merawat harapan untuk bisa pergi ke negeri impian. Negeri yang membuka pintu secara terbuka bagi pengungsi dan pencari suaka.

"Aku ingin bisa ke Australia atau New Zealand (Selandia Baru) ataupun Amerika. Di sana aku mungkin bisa bekerja dan mendapatkan pendidikan," kata dia.

Para pengungsi dan pencari suaka ini tidak hanya berada di sekitar Rudenim. Beberapa di antara mereka juga mendirikan tenda di depan kantor Badan PBB untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) Kebon Sirih.
Seorang anak pencari suaka saat bermain di dalam bangunan tempat penampungan sementara di Jalan Peta Selatan, Kalideres, Jakarta Barat, Rabu (3/7/2019). (ANTARA News/Asep Firmansyah)


Unjuk Rasa

Bahkan pada Rabu, para pengungsi dari beberapa negara seperti Somalia, Sudan dan Afganistan berunjuk rasa menuntut bantuan dari depan kantor UNHCR.

"Saya ingin UNHCR membantu kami dan anak-anak kami untuk mendapatkan rumah, makanan, dan layanan kesehatan. Kami sudah menjadi tunawisma selama satu setengah tahun, maka itu kami berdiri di sini," kata Abdulkadir Boor, perwakilan pengungsi dari Somalia.

Sebagai cara untuk menyampaikan aspirasi mereka, beberapa pengungsi menyengaja duduk di depan gerbang kantor UNHCR. Dua orang di antara mereka membawa kertas bertuliskan ‘KAMI INGIN PERUMAHAN’.

Baca juga: Mahasiswa keluhkan sering diganggu pengungsi mabuk

Baca juga: Polemik menyekolahkan pengungsi anak di SD negeri di Pekanbaru


Abdulkadir mengatakan bahwa dia dan keluarga serta pengungsi lainnya telah berada di trotoar depan gedung kantor UNHCR selama sembilan hari. Sebelumnya, mereka tinggal di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta.

Menurut dia, perpindahan tempat para pengungsi itu adalah cara untuk menuntut bantuan yang selama ini dijanjikan.

Abdulkadir menambahkan bahwa tidak semua pengungsi yang tinggal di Kalideres ikut berpindah ke depan kantor UNHCR. Dia memperkirakan, saat ini ada sekitar 150 orang yang ada di sana.

Untuk bertahan hidup sehari-hari, misalnya kebutuhan makanan dan minuman, para pengungsi mengaku mendapatkan bantuan dari warga sekitar.

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019