Denpasar (ANTARA) - Mantan Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) wilayah Bali, Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra (50) diadili di Pengadilan Negeri Denpasar, atas kasus penipuan, perizinan dan pengembangan kawasan Pelindo di Benoa.

"Dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan mempergunakan sebuah nama palsu, atau suatu sifat palsu dengan mempergunakan tipu muslihat ataupun dengan mempergunakan susunan kata-kata bohong, menggerakkan saksi korban, Sutrisno Lukito Disastro yang bertindak untuk dirinya sendiri dan/atau bertindak untuk dan atas nama PT Bangun Segitiga Mas, untuk menyerahkan suatu benda berupa uang sebesar Rp16,1 Milyar," Kata Jaksa Penuntut Umum, I Gde Raka Arimbawa saat menjelaskan dakwaan, pada Senin.

Atas perbuatannya tersebut, sesuai yang diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 KUHP dan/atau pasal 372 KUHP.

Saat persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Ida Ayu Nyoman Adnya Dewi juga menyampaikan bahwa atas kasus yang menjerat terdakwa, maka persidangan perkara untuk selanjutnya dilakukan seminggu dua kali.

"Dari kasus ini, nantinya tidak akan mencukupi waktu ya, karena akan ada proses yang panjang ya, dari eksepsi, tanggapan, putusan sela, saksi - saksi yang banyak, dari terdakwa juga akan mengajukan saksi yang meringankan, tuntutan, pembelaan, replik, duplik, untuk itu dijadikan dua kali dalam seminggu," Jelas Ketua Majelis Hakim, Ida Ayu Nyoman Adnya Dewi.

Saat persidangan, Majelis Hakim mengajukan kesepakatan kepada Jaksa Penuntut Umum dan Pengacara Terdakwa, untuk selanjutnya agar persidangan dilakukan dua kali dalam seminggu setiap hari Senin dan Kamis. Sebelum persidangan ditutup, pihak keluarga mengajukan permohonan penangguhan kepada Majelis Hakim, dan kemudian dari pihak majelis hakim akan mempertimbangkan setelah bermusyawarah.

Kasus yang melibatkan mantan Ketua Kadin Bali, Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra ini berawal dari adanya rencana pembangunan dermaga baru di kawasan Pelabuhan Benoa oleh seorang investor bernama, Sutrisno Lukito Disastro dan rekannya Abdul Satar.

Pihaknya meminta bantuan dari seseorang bernama Candra Wijaya untuk dapat dipertemukan dengan Gubernur Bali untuk investasi reklamasi di Teluk Benoa. Selanjutnya Candra Wijaya menghubungi Made Jayantara untuk dapat mengurus perijinan proyek tersebut. Setelah itu I Made Jayantara menghubungi terdakwa untuk dapat membantu Sutrisno dalam mengurus ijin proyek di Teluk Benoa.

Dalam uraian surat dakwaan, Terdakwa yang juga seorang Pengusaha Properti akhirnya bertemu dengan Sutrisno Lukito Disastro terkait dengan pengurusan ijin proyek pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa. Dalam hal ini Sutrisno untuk menginvestasi reklamasi dengan dana sebesar Rp3 trilyun dan meminta kepada terdakwa untuk mempertemukan dengan Gubernur Bali.

Selain itu, terdakwa yang disampaikan dalam dakwaan juga menyebutkan dapat memanggil Kepala Dinas, DPRD tingkat I dan II, Pelindo, serta menyanggupi menyelesaikan izin -izin proyek pengembangan Pelabuhan Benoa dalam waktu enam bulan. Setelah itu, terdakwa juga mengungkapkan dalam surat dakwaan meminta biaya operasional sebesar Rp6 milyar dan sisanya Rp24 milyar. Hingga akhirnya kedua pihak membuat kesepakatan hitam-putih.

Setelah perjanjian tersebut disepakati, Sutrisno tidak mendapatkan surat yang sesuai melainkan hanya syarat kelengkapan mengajukan surat permohonan rekomendasi dari Gubernur Bali. Sampai akhirnya, Sutrisno tidak mendapatkan surat rekomendasi dari Gubernur Bali sesuai dengan kesepakatan dengan terdakwa, dan melaporkan terdakwa hingga terdakwa digiring ke persidangan.

Baca juga: DPRD Bali tolak reklamasi Teluk Benoa

Baca juga: Cagub Mantra tegas tolak reklamasi Teluk Benoa

Baca juga: Antropolog: reklamasi Teluk Benoa perlu sosialisasi holistik


Pewarta: Ayu Khania Pranishita
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019