Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menganggap mengeluarkan pelaporan ke Organisasi Dagang Dunia (WTO), terkait sentimen negatif Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit asal Indonesia, sebaiknya hanya dilakukan apabila negosiasi tidak membuahkan hasil.

“Sebaiknya lapor ke WTO itu betul-betul last resort lah, alternatif lah ya, karena argumennya juga harus kuat,” kata Bustanul di sela-sela acara silaturahmi pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia di Jakarta, Senin.

Menurut dia, apabila Indonesia membawa persoalan ini ke WTO, peluang Indonesia untuk menang tak begitu besar, karena Uni Eropa mengaitkan sentimen negatifnya dengan permasalahan dalam negeri, yakni mengenai konversi lahan hutan ke perkebunan kelapa sawit yang dianggap mempengaruhi perubahan iklim.

“Saya harus katakan mereka cerdas karena dikembalikan ke persoalan kita di dalam negeri,” kata Bustanul yang juga merupakan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu.

Meski demikian, ia meyakini Indonesia tetap harus memperjuangkan posisi minyak kelapa sawit di Uni Eropa dengan mendorong negosiasi bilateral dengan negara-negara yang selama ini melakukan impor terhadap biodiesel berbasis minyak kelapa sawit asal Indonesia, termasuk Spanyol dan Italia.

Pada tanggal 22 Mei, sidang parlemen Uni Eropa akan mengambil keputusan terkait undang-undang Renewable Energy Directives II (RED II), yang salah satu poinnya menyebut sawit sebagai salah satu tanaman yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.

Apabila RED II disetujui oleh anggota parlemen tersebut, seluruh negara anggota Uni Eropa akan terikat oleh regulasi tersebut dan tak lagi diperbolehkan untuk mengimpor biodiesel berbasis minyak kelapa sawit.

Bustanul menjelaskan bahwa 55 persen-60 persen minyak kelapa sawit yang diekspor ke Eropa digunakan untuk biodiesel, sementara sisanya digunakan untuk kebutuhan pangan.

Adapun RED II melarang penggunaan sawit asal Indonesia sebagai biodiesel, sementara penggunaan sebagai bahan makanan tetap diperbolehkan.

Menjelang putusan sidang parlemen Uni Eropa ini, Bustanul juga mendorong para diplomat untuk terus melakukan kampanye positif di negara-negara Uni Eropa, sebagai salah satu cara menyelamatkan biodiesel berbasis kelapa sawit asal Indonesia di kawasan itu.

“Apabila memang sudah mentok ya mau tidak mau kita notifikasi ke WTO. Itu artinya kita buat laporan keberatan bahwa Eropa melakukan diskriminasi lagi,” katanya.

Sebelumnya, Uni Eropa pernah dituduh melakukan diskriminasi atas biodiesel minyak kelapa sawit asal Indonesia saat Uni Eropa menuduh Indonesia menerapkan subsidi pemerintah atau dumping terhadap biodiesel sawit Indonesia.



Baca juga: Kementan akan terus negosiasi UE hadapi sentimen negatif sawit
Baca juga: Menko Perekonomian: Indonesia-UE akan bentuk tim bersama terkait sawit

Pewarta: Ahmad Wijaya dan Aria Cindyara
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019