Padang (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyerahkan SK Penetapan Hutan Adat Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau pada Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Nagari Koto Besar Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.

"SK ini baru salinan, belum yang asli, tetapi sudah bisa langsung dimanfaatkan," kata Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian LHK  Bambang Supriyanto di Padang, Selasa.

Penyerahan SK Hutan Adat itu ikut disaksikan Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, Direktur Eksekutif Warsi Rudi Syah dan Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozarwardi Usama Putra.

Hutan adat Rimbo Tolang dan Rimbo Ubau yang akan dikelola Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Nagari Koto Besar itu baru diusulkan 2018 dan bisa ditetapkan pada 2019. Prosesnya relatif cepat dibanding hutan adat Mentawai dan Tanah Datar yang lebih dulu diusulkan.

Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Yozarwardi Usama Putra menyebutkan cepatnya proses itu karena lahan Hutan Adat yang diusulkan itu berada pada Area Penggunaan Lain (APL).

"Pada kawasan APL, penetapannya hanya perlu SK Bupati. Sementara jika berada dalam kawasan hutan lainnya perlu adanya Peraturan Daerah (Perda) yang spesifik," katanya.

Menurutnya kawasan seluas 35 hektare di Dharmasraya itu berada di tengah-tengah perkebunan sawit dan getah, tetapi tidak terletak dalam kawasan hutan. Karena itu, meski yang terakhir diusulkan, tetapi menjadi hutan adat pertama yang diakui oleh pemerintah di Sumbar.

Wacana tentang pengakuan hutan adat sudah muncul sejak tahun 2012 pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35 Tahun 2012. Namun realisasinya terkendala kelengkapan administrasi yang dibutuhkan, salah satunya, Perda tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang mengelola hutan adat tersebut.

Saat ini di Sumbar dari tiga hutan adat yang diusulkan ada sebagian yang telah memiliki dasar hukum Perda, tetapi masih dalam tataran yang umum. Sementara Perda yang dimaksud langsung spesifik mengakui hutan adat.

Tiga hutan yang diusulkan itu masing-masing di Malalo Tiga Jurai Kabupaten Tanah Datar seluas 5.100 hektare dan dua usulan dari Mentawai dengan luas 7.000 hektare.

Status Hutan Adat itu hingga saat ini masih dalam proses untuk dikeluarkan izinnya oleh kementerian. Sejumlah syarat harus dipenuhi agar hal itu bisa secepatnya tercapai, salah satunya peraturan daerah di tingkat kabupaten.

Proses mewujudkan hutan adat di Sumbar sudah dimulai pada 2016. Dinas Kehutanan Sumbar bersama pihak terkait telah melaksanakan komunikasi multipihak dalam rangka proses pendampingan pengakuan hutan adat di Tanah Datar dan Mentawai.

Komunikasi multipihak dalam rangka proses pendampingan pengakuan hutan adat bertujuan untuk membangun kesamaan pemahaman kepada para pengambil kebijakan dan multipihak di Sumbar, terutama pemerintah kabupaten dan DPRD agar mempunyai persepsi dan spirit yang sama dalam rangka mendorong pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA).

Tujuan penetapan hutan adat ialah untuk perlindungan masyarakat hukum adat dan kearifan lokal, sehingga hutan adat tidak menghilangkan fungsi lindung maupun konservasi. Selain itu, kekhususan adat adalah kebersamaan (komunal). Karena itu, hutan adat tidak untuk diperjualbelikan dan dipindahtangankan.

Baca juga: Hutan adat Bukit Samabue Landak divalidasi KLHK
Baca juga: Papua Barat akan usulkan penetapan 20 area hutan adat
Baca juga: 369.861 ha lahan masuk Areal Indikatif Hutan Adat

Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019