Jakarta (ANTARA) - Indonesia diberkahi dengan keberagaman agama dan budaya, sehingga banyak hari besar keagamaan yang dirayakan oleh anak bangsa. Namun, banyak yang bertanya, apakah hari-hari besar agama yang sarat makna tersebut, seperti Isra’ Mi’raj, bukan hanya telah memperkaya keberagaman kita, tetapi sudah menghasilkan dampak positif secara nyata dalam kehidupan sehari-hari?

Isra’ Mi’raj berlatar belakang perjalanan seorang manusia utama dalam Islam, Nabi Muhammad SAW, yang diberangkatkan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsa di Yerusalem kemudian dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Pada zamannya, sekitar Tahun 620 M, perjalanan ini tergolong luar biasa dikarenakan mode transportasi seperti pesawat yang belum ditemukan.

Banyak umat muslim memperingati hari bersejarah ini dengan berbagai acara, dari pengajian setingkat majelis taklim atau sampai tabligh akbar. Pembahasan tentang Isra’ Mi’raj seringkali bertema tentang shalat ataupun mukjizat yang dialami Nabi SAW.

Sayangnya, ada aspek penting lainnya dalam kejadian Isra' Mi'raj yang sangat jarang diungkap, yaitu aspek apresiasi atau tafakur pada alam dan implikasinya untuk muslim dalam mengelola alam atau lingkungan yang bijak dan bertanggung jawab.

Padahal aspek ini jelas tercatat dalam Al Qur'an (QS 17:1), "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Fazlun M. Khalid, pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Science (IFEES) lebih dari satu abad yang lalu, menyatakan bahwa penggunaan kata-kata "tanda-tanda kebesaran (Ayat) Allah" dalam Al Qur'an, termasuk ayat di atas, sering merujuk kepada "fenomena alam" dan/atau "lingkungan".

Di Al Qur'an (QS 16:65), Allah SWT menegaskan hal ini, "Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)". Hal serupa juga dinyatakan pada ayat-ayat lanjutannya (QS 16:66-69).

Bahkan di beberapa kesempatan, dalam peristiwa Isra', apresiasi terhadap alam atau lingkungan juga diberikan tingkat yang tinggi sehingga digunakan sebagai perumpaan para mujahidin (orang yang berjuang di jalan Allah).

Alkisah, ketika Nabi SAW melakukan perjalanan Isra', beliau melihat orang-orang yang menanam tumbuhan sekaligus memanen hasilnya hanya dalam waktu dua hari, dan setiap selesai memanen, stok tumbuhannya akan kembali seperti sebelum panen terjadi. Beliau menanyakan hal ini kepada Malaikat Jibril AS, yang kemudian menjawab bahwa orang-orang tersebut adalah para mujahidin yang berjuang di jalan Allah dan setiap pengeluaran yang mereka lakukan akan dikembalikan berkali-lipat oleh-Nya.

Sayangnya, kita sering khilaf mengapresiasi atau bahkan mengelola alam atau lingkungan secara bijak dan kita masukkan ke dalam keseharian ibadah ataupun perilaku hidup kita.

Padahal, kepedulian kepada alam merupakan "ruh" yang tak terpisahkan dari tanggung jawab manusia diciptakan di bumi. Cendekiawan muslim Sayyed Hossein Nasr menulis bahwa di dalam Islam, manusia merupakan wakil Allah (khalifah) yang mendapatkan kepercayaan (amanah) dari-Nya untuk menjaga bumi dan hidup secara harmonis dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain (1997).

Atribut "khalifah" yang dilekatkan kepada "manusia" menunjukkan bahwa alam bukanlah milik kita sehingga kita dapat berbuat seenak hati, melainkan amanah dari Allah untuk kita menjaganya.

Tugas sebagai pelindung bumi ini diperjelas dalam QS 6:165, "Dan Dialah yang menjadikan kamu pelindung-pelindung bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Di samping sebagai khalifah, manusia dilengkapi dengan fungsi pelayan (al 'ubudiyah) atau hamba Allah. Sebagai pengabdi atau hamba-Nya (abdullah), manusia dituntut untuk patuh dan taat terhadap semua perintah Allah termasuk menjaga keseimbangan di alam.

QS Ar-Rahman (55:1-7) menguatkan hal ini, "(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan al Qur'an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan)".

Hilangnya "ruh" kepedulian terhadap alam atau lingkungan pada gilirannya mendorong aktivitas manusia yang tidak lagi mengindahkan dampak negatif yang terjadi pada lingkungan.

Sebagai umat beragama terbesar di Indonesia, umat muslim saat ini harus dihadapkan dengan fakta bahwa "kiamat-kiamat kecil – seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, sampah plastik dan pencemaran air dari industri – telah seringkali terjadi akibat lalainya kita menjaga dan melestarikan lingkungan". Keseimbangan yang dititahkan Al Qur’an sudah terganggu karena khilafnya kita sang khalifah.

Allah SWT secara tegas telah mengingatkan hal ini dalam QS 30:41, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".

Tentunya, sudah banyak kebijakan positif digulirkan oleh pemerintah termasuk dalam perlindungan hutan, penanganan dan pencegahan kebarakan hutan dan lahan, penguranan sampah dan penggunaan plastik. Sudah banyak pula inisiatif dari pihak swasta dan masyarakat yang berkontribusi dalam pengelolaan lingkungan secara nyata termasuk mendorong pengelolaan lahan menjadi lebih produktif sekaligus berkontribusi terhadap perlindungan dan restorasi hutan sekitar.

Hal ini tentu perlu diapresiasi dan diperkuat. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Doni Monardo, secara jelas di awal tahun mengajak masyarakat untuk terus peduli terhadap lingkungan. Menurut beliau, Indonesia bisa dikategorikan sebagai “supermarket” bencana. Korban jiwa di Indonesia (2018) mencapai lebih dari 4.000 orang.

Tantangannya, menurut beliau, kita semua belum menyikapi pengelolaan lingkungan dengan baik. Di kawasan rawan longsor, pembangunan kita cenderung memberikan beban tambahan sehingga risiko longsor menjadi lebih parah, ditambah kecenderungan banyak pihak yang belum menghargai hutan, sungai dan sempadannya.

Tentunya sekarang kita semua sepatutnya saling mengingatkan untuk lebih mengapresiasi, mengasihi, dan melindungi alam atau lingkungan yang semestinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam ibadah dan tanggung jawab kita sebagai hamba-Nya.

Semoga kita tidak perlu menunggu lagi untuk terus diingatkan dari satu kejadian bencana lingkungan ke bencana lainnya, yang pada gilirannya sudah menimbulkan korban sesama manusia.

Peringatan Allah secara jelas telah tertuang dalam QS 28:77, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".

Nabi SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, juga telah memberikan panutan yang bijaksana kepada kita dengan mengatakan, "Jika seseorang mempunyai sebibit kurma di tangannya pada hari terakhir di dunia, maka ia berkewajiban menanamnya."

Semoga kita semua ingat akan QS Ar-Rahman, di mana sebanyak 30 kali manusia diingatkan, "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?".

*) Penulis adalah Ketua Pengurus dan Direktur Utama IDH - Inisiatif Dagang Hijau


 

Copyright © ANTARA 2019