Seoul, Korea Selatan (ANTARA) - Proses perdamaian dan reunifikasi Semenanjung Korea adalah tugas konstitusional Korea Selatan dan Korea Utara yang perlu mendapat dukungan pers internasional untuk mengawalnya demi terciptanya perdamaian di semenanjung tersebut.

Pers internasional perlu mengawal agenda tersebut antara lain dengan menanggalkan lensa kombatif dalam melihat konflik di Semenanjung Korea, kata anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Teguh Santosa ketika berbicara dalam forum World Journalists Conference 2019 di Seoul, Korea Selatan, Senin.

“Reunifikasi adalah tugas konstitusional Korea Utara dan Korea Selatan. Para pemimpin mereka pada masa lalu, terutama setelah Perang Dingin berakhir telah menggelar serangkaian pembicaraan ke arah itu,” ujar Teguh. Ia merujuk kepada pertemuan pemimpin Korea Utara Kim Jong Il dan Presiden Korea Selatan Moon Jaein di Pyongyang tahun 2000.

Dalam pertemuan tersebut kedua pemimpin sepakat bahwa reunifikasi adalah pekerjaan bersama bangsa Korea yang harus dilakukan dalam suasana damai dan persaudaraan. Soal bagaimana akhir unifikasi dan reunifikasi itu terserah pada dialog bangsa Korea tanpa campur tangan pihak lain, katanya.

Menurut Teguh, yang sudah berkali kali berkunjung ke Pyongyang dan Seoul, proses perdamain antara kedua Korea sering terganggu oleh pihak ketiga --yang khawatir terhadap perubahan lanskap politik di kawasan itu dapat membahayakan posisi geostrategis dan kepentingan ekonomi mereka.

Pertemuan antara Moon Jaein dan Kim Jong Un sebanyak tiga kali tahun lalu menunjukkan kemajuan yang sangat besar dalam pembicaraan antar-Korea, katanya.

Selain itu, Kim Jong Un juga telah bertemu dua kali dengan Presiden AS Donald Trump di Singapura tahun lalu dan di Vietnam akhir bulan lalu.

“Meskipun tidak ada kesepakatan tertulis dalam pertemuan kedua saya pikir pertemuan di Hanoi cukup memberikan hasil yang memuaskan. Dalam studi konflik, perjanjian perdamaian membutuhkan elemen penting, termasuk kesabaran. Saya optimistis dengan hasil pembicaraan damai ini ,” kata dosen Asia Timur Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Ia mengatakan seringkali tanpa disadari wartawan menggunakan lensa kombatif dalam melihat konflik seakan-akan semua konflik harus berakhir dengan benturan yang dramastik.

“Saya kira kita perlu melihat persoalan dari prospektif yang lebih positif dan konstruktif,” katanya.

Konferensi ini diadakan pertama kali tahun 2013 dan kini menjadi forum terbesar yang dihadiri wartawan dari berbagai negara. Konferensi tahun ini diselenggarakan setelah KTT AS-Korea Utara bulan Februari lalu yang berakhir tanpa penandatangan kesepakatan antara pemimpin kedua negara.

Konferensi tersebut diselenggarakan Asosiasi Wartawan Korea (JAK) dan dihadiri peserta dari 50 negara. Selain Teguh Santosa, pertemuan juga menghadirkan pembicara lain seperti Deputi Direktur Eksekutif SMG News Center Hong Kong Zhu Xiaoqian, wartawan Die Welt Jerman Teresa Pfuetzner, Wakil Presiden JAK Woosuk Kenneth Choi dan Presiden Masyarakat Nasional Wartawan Profesional Amerika Serikat Janet Marie Tarquinio

Baca juga: Kemendes kirim 40 kepala desa studi ke Korea dan China
Baca juga: Pompeo: AS berharap teruskan pembicaraan dengan Korea Utara
Baca juga: Bekraf gandeng SBC Korea kembangkan startup digital
Baca juga: Korea Selatan berkomitmen jembatani negosiasi AS-Korea Utara


Pewarta: Suharto
Editor: Chaidar Abdullah
Copyright © ANTARA 2019