Jakarta (ANTARA) - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai visi dan misi bidang kesehatan para calon wakil presiden (cawapres) dalam Debat Capres Pilpres 2019, Minggu malam, masih sektoral.

"Meski berjalan dengan baik debatnya, tetapi visi misi yang disampaikan para cawapres terlihat terlalu teknis dan sektoral," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi sebagaimana dikutip dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin.

Menurut Tulus, hal itu lebih mirip kepada visi misi seorang menteri, bukan seorang cawapres. Padahal persoalan yang ada, harus disikapi dengan kebijakan yang komprehensif dan holistik.

Kemudian, terkait dengan persoalan BPJS Kesehatan dan anak bertumbuh pendek (stunting), kata Tulus, juga sangat ironis karena kedua cawapres belum menonjolkan upaya preventif promotif secara serius dan sistematis.

Terbukti, kedua calon tidak sedikitpun berbicara upaya pengendalian konsumsi tembakau. Padahal baik stunting dan defisit BPJS Kesehatan sekalipun, sangat erat kaitannya dengan upaya preventif promotif, salah satunya adalah pengendalian konsumsi tembakau.

"Benar stunting disebabkan karena kurangnya asupan gizi secara kronis pada rumah tangga miskin. Tetapi asupan gizi yang kurang itu karena alokasi pendapatan rumah tangga miskin lebih banyak untuk membeli rokok, bukan untuk membeli lauk pauk," kata Tulus

Terkait BPJS Kesehatan, finansial defisitnya juga banyak dipicu oleh penyakit tidak menular, seperti jantung koroner, stroke, hipertensi, gagal ginjal, dll. Penyakit ini muncul karena faktor gaya hidup dan konsumsi rokok berkontribusi paling signifikan atas munculnya penyakit penyakit tersebut.

Oleh karena itu, tegasnya, YLKI mempertanyakan dengan keras kepada para calon mengapa tidak menjadikan upaya preventif promotif berupa wabah konsumsi rokok sebagai agenda kebijakannya.

"Ada kepentingan apa sehingga para cawapres tidak menyinggung upaya pengendalian konsumsi rokok? Aneh bin ajaib," katanya.

YLKI menunjukkan data, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit tidak menular justru melonjak drastis, dibandingkan prevalensi pada Riskesdas 2013.

Lihatlah faktanya, prevalensi kanker dari semula sebesar 1,4 persen (2013) menjadi 1,8 persen (2018), prevalensi stroke dari 7 persen menjadi 10,9 persen, penyakit ginjal kronik dari 2 persen menjadi 3,8 persen dan penyakit diabetes melitus dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen.

Tulus menambahkan, berdasarkan visi misi kedua cawapres seperti itu, pihaknya sangat meragukan masalah kesehatan secara holistik akan bisa diwujudkan dan diatasi serta BPJS Kesehatan pun akan mengalami defisit finansial yang berkepanjangan.

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019