Jakarta (ANTARA) - Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia 2019 yang diluncurkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan pengaduan yang meningkat 14 persen daripada tahun sebelumnya.

Itu menunjukkan kesadaran masyarakat untuk mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat dan mekanisme pencatatan yang semakin baik.

Namun, di sisi lain, Catatan Tahunan itu juga menunjukkan bahwa kekerasan masih menghantui para perempuan di Indonesia.

Yang mencengangkan, kekerasan terhadap perempuan yang tercatat justru terjadi di ranah privat, yaitu dilakukan oleh keluarga atau kerabat dekat perempuan.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menyatakan kekerasan yang terjadi di ranah privat merupakan yang paling banyak dilaporkan sepanjang 2018.

"Yang tertinggi dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga, 'incest' dan kekerasan dalam pacaran," kata Yuni.

Yuni mengatakan kasus perkosaan dalam perkawinan mengalami peningkatan pada 2018, yaitu 195 kasus. Perkosaan dalam perkawinan adalah hubungan seksual dengan cara yang tidak diinginkan dan menyebabkan penderitaan terhadap istri.

Peningkatan pelaporan kasus perkosaan dalam perkawinan menunjukkan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga masih memiliki banyak persoalan.

"Meskipun Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga telah 14 tahun diberlakukan, tetapi hanya tiga persen kasus saja yang dilaporkan ke lembaga pelayanan hingga ke pengadilan," tuturnya.

Perkosaan oleh orang yang masih memiliki hubungan darah atau "incest" yang dilaporkan pada 2018 juga masih sangat tinggi, yaitu 1.071 kasus, dengan pelaku terbanyak adalah ayah kandung dan paman.

Menurut Yuni, hal itu menunjukkan fakta mengkhawatirkan di tengah konstruksi sosial yang kuat yang menempatkan laki-laki sebagai wali dan pemimpin keluarga yang diharapkan dapat melindungi perempuan dan anak perempuan di dalam keluarga.

"Fakta ini juga menjadi penting untuk mempertimbangkan basis utama dalam membangun konsep ketahanan keluarga," katanya.

Yuni mengatakan perkosaan dalam perkawinan dan perkosaan oleh orang yang masih memiliki hubungan darah sulit diungkap karena terjadi dalam relasi keluarga. Selain itu, pada diri korban juga diletakkan kewajiban untuk patuh dan berbakti serta tidak membuka aib keluarga.

"Pengungkapan kasus seperti itu perlu ditindaklanjuti dengan penyediaan mekanisme pemulihan yang komprehensif dan berpihak pada korban, serta penghukuman pelaku yang berorientasi pada perubahan perilaku sehingga tidak mengulangi lagi kejahatannya," katanya.

Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati mengatakan persepsi masyarakat Indonesia terhadap kekerasan seksual masih sangat lemah karena hanya melihat dari sisi norma kesusilaan.

"Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perkosaan dan kekerasan seksual juga masuk dalam norma kesusilaan. Akibatnya, yang dilindungi adalah norma kesusilaan masyarakat," kata Nur.

Nur mengatakan karena perkosaan dan kekerasan seksual dipandang dari sisi norma kesusilaan, maka korban dan pelakunya diperlakukan sama, sejauh mana melukai nilai kesusilaan masyarakat.

Persepsi perkosaan dan kekerasan seksual sebagai bagian dari norma kesusilaan mengakibatkan perempuan sebagai korban rentan dipersalahkan kembali.

"Korban perkosaan dan kekerasan seksual akan sulit melamar pekerjaan dan sulit berdagang akibat stigma sebagai korban kekerasan," tuturnya.

Bila hal itu terjadi, Nur mengatakan negara tidak akan optimal dalam menanggapi dan melindungi korban sehingga mereka sulit melewati masa pemulihan.

"Pemulihan korban kekerasan seksual sangat penting bagi peningkatan kualitas hidupnya. Bayangkan bila korban hamil dan melahirkan dalam kondisi trauma," katanya.

Karena itu, Komnas Perempuan memandang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting untuk mengubah paradigma masyarakat agar tidak melakukan kekerasan seksual.

"Indonesia sudah darurat kekerasan seksual karena bukan hanya sekadar angka. Dari sekian banyak kasus, mungkin yang diadukan hanya 10 persen, masuk persidangan hanya lima persen dan yang divonis hanya dua persen atau tiga persen," jelasnya.


Rancangan Undang-Undang
Menyikapi kekerasan terhadap perempuan yang masih banyak terjadi, DPR telah menggunakan hak inisiatifnya untuk mengusulkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Namun, belum juga dibahas bersama pemerintah, naskah Rancangan Undang-Undang tersebut sudah menimbulkan pertentangan di antara fraksi di DPR dan di masyarakat. Pasalnya ada sebagian pihak yang menilai naskah Rancangan Undang-Undang terlalu liberal.

Menanggapi hal itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengatakan pemerintah memperhatikan dinamika pro dan kontra yang terjadi di masyarakat tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

"Saya mengikuti semuanya, termasuk pendapat pihak yang kontra tentang perzinahan dan lain-lain," kata Yohana.

Yohana mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan RUU inisiatif DPR yang belum masuk pembahasan bersama pemerintah.

Karena itu, pemerintah menunggu dan memberikan kesempatan kepada DPR untuk menyelesaikan pembahasan naskah yang menjadi inisiatif legislatif.

Terkait pro dan kontra terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Yohana mengatakan perlu dikaji lebih mendalam. Untuk mengkaji RUU tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah melakukan beberapa kali diskusi publik yang melibatkan banyak pihak.

"Kami akan kembali melakukan diskusi, termasuk dengan melibatkan pihak-pihak yang menentang dan mendukung. Semuanya akan kami perhatikan," tuturnya.

Yohana mengatakan untuk mendapatkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang terbaik, sebaiknya semua pihak bisa berdiskusi secara terbuka dan berbicara dari hati ke hati.

"Kita diskusi dan bicara dari hati ke hati untuk mendapatkan yang terbaik untuk para perempuan," katanya.

Sementara itu, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Vennetia R Dannes mengatakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akan berpihak pada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

"Perempuan adalah ibu bangsa. Ibu bangsa harus melahirkan generasi anak-anak bangsa yang bermutu. Tidak akan tercapai kalau perempuan tidak dilindungi dari kekerasan seksual," kata Vennetia.

Vennetia mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berangkat dari niat baik untuk melindungi perempuan dan anak Indonesia.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), tercatat 7.275 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang 2018.

"Itu belum data dari Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan. Korban kekerasan seksual kebanyakan perempuan, meskipun bukan berarti tidak akan menimpa laki-laki," tuturnya.

Vennetia mengatakan hingga saat ini belum ada pembahasan antara pemerintah dengan DPR terkait dengan RUU tersebut. Naskah yang ada saat ini bukan harga mati karena masih akan dibahas dan disempurnakan.

"Soal penafsiran-penafsiran lain yang beredar di masyarakat juga akan dibahas. Kalau ada miskonsepsi akan dikembalikan ke jalurnya, misalnya soal definisi yang akan menggunakan definisi internasional sehingga tidak ada penyimpangan dan relasi antara laki-laki dan perempuan bisa seimbang," katanya. (*)

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019