Oleh Prof. Dr. Ir. Max Marcus J. Pattinama, DEA *)

Ketika Mayor Jenderal TNI Doni Monardo pertama kali bertugas di Ibu Kota Provinsi Maluku, Ambon, selaku Panglima Kodam XVI/Pattimura, warga setempat punya pertanyaan sangat besar terhadap kebijakan Mabes TNI/AD menempatkan mantan Danjen Kopassus itu.

Doni Monardo menjabat Pangdam Pattimura pada 25 Juli 2015 sampai 27 Oktober 2017.

Nama Kopassus sangat dekat dengan detak jantung orang Maluku ketika tragedi kemanusiaan di Maluku 1999-2005. Daerah Maluku ketika itu dikoyak-koyak dan "dibumihanguskan" atas nama satu isu, yakni "perang agama".

Bukan main-main stempel yang diberikan kepada daerah yang dahulu sangat terkenal sebagai "Spices Island" atau Pulau Rempah di masa Maluku mengukir sejarah kelam kolonisasi di nusantara yang sangat panjang dan menyedihkan.

Doni Monardo hadir dan sontak orang Maluku berpikir bahwa daerah ini belum dinyatakan aman oleh Jakarta hingga tahun 2015 masih menempatkan seorang komandan pasukan elite memimpin teritorial Maluku.

Dugaan masyarakat Maluku boleh saja diutarakan mengingat semua orang Maluku sangat trauma dengan sebutan "perang agama" dimaksud. Padahal dalam kenyataannya, hubungan kekerabatan antaragama di masyarakat Maluku tetap terjalin harmonis.

Dalam satu keluarga orang Maluku bisa terdapat pemeluk dua agama, lalu bagaimana bisa disebut "perang agama".

Selama periode 1999-2005 itu seolah masyarakat Maluku hidup dalam ketegangan dan resonansi inharmoni dengan lalu lintas berita setengah benar (the half true news).

Jadi wajarlah ketika Doni Monardo mulai pertama kali berkomunikasi dengan masyarakat Maluku pada 31 Juli 2015, setelah hampir seminggu menata organisasi internal Kodam XVI/Pattimura, banyak warga Maluku yang menunggu momentum itu.

Doni langsung menemui para tokoh adat dan tokoh masyarakat Maluku serta secara rutin melakukan diskusi dengan para tokoh agama.

Selain itu, jalinan kohesi persahabatan dengan birokrasi pemerintah daerah dalam organisasi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Maluku juga dilakukan.

Doni Monardo juga membangun komunikasi intens dengan para intelektual dan akademisi Maluku untuk mendengarkan ide dan gagasan mereka dalam membangun wilayah kepulauan itu.

Ini adalah catatan kami yang pertama, bahwa Doni Monardo keluar dari tembok pasukan yang baris berbaris, panggul senjata dengan sikap hormat gerak dan tegap gerak.

Beliau mampu membangun kohesi sosial yang intensif dengan dunia non-kemiliterannya.

Catatan kami yang kedua, Doni Monardo sadar betul bahwa selaku penguasa teritorial wilayah Kepulauan Maluku di mana wilayah ini bukanlah sebuah tangsi militer yang bisa digerakkan dengan tongkat komando seorang komandan tangsi.

Monardo menjelajahi seluruh Kepulauan Maluku dan menemui masyarakat yang hidup pada pulau-pulau kecil dengan pandangan mata dan gerak tubuh yang selalu "welcome" kepada para pendatang di pulaunya, ditambah lagi dengan lantunan musik anak pulau yang hanya berbekal sebuah tabuh (tifa), gong, dan ukulele.

Bagi Doni Monardo, mereka sangat "enjoy" dengan habitatnya dan wajah-wajah yang terpancar penuh kepasrahan pada alam sekitar.

Ini yang selalu menggelisahkan Doni Monardo apalagi setelah kembali dari lapangan, kemudian bergabung dalam diskusi birokrasi pejabat Pemda Maluku dan pemda kabupaten/kota, di mana mereka selalu terbelenggu dengan pernyataan bahwa Maluku adalah wilayah termiskin ketiga setelah Papua dan Papua Barat menurut catatan BPS.

Catatan kami yang ketiga, Doni Monardo dengan insting militernya berupaya untuk mencari dan menyusun strategi penyerangan yang jitu untuk membasmi sel dan plasma kemiskinan di Maluku.

Konsep yang beliau susun dan langsung dikerjakan di lapangan adalah tentang konsep emas hijau dan emas biru. Ketika digulirkan, masyarakat Maluku bertanya-tanya begini, "Jendral Doni mau apa lagi?" mengingat pada saat bersamaan orang di Maluku lagi sibuk mengeksploitasi emas di Gunung Botak, Pulau Buru.

Semua masyarakat terutama di Pulau Buru baik aras masyarakat biasa maupun pejabat daerah seolah berlomba untuk memiliki "lubang eksploitasi emas" yang nanti akan disewakan kepada pekerja profesional yang datang dari Tasikmalaya, Ternate, dan Manado.

Lautan manusia di Gunung Botak seolah tak terbendung karena memang emas dijual di tempat dan uang langsung diperoleh. Gunung Botak di Pulau Buru seolah tersulap menjadi wilayah tak bertuan.

Di situ muncul tragedi kemanusiaan di mana manusia mati sia-sia terkubur tanah dalam lubang penggalian dan juga perdagangan ilegal zat kimia sianida dan merkuri.

Begitu kompleks persoalan Gunung Botak sehingga Presiden RI Joko Widodo memerintahkan untuk menutup eksploitasi tradisional dimaksud karena membahayakan manusia dan lingkungan dalam masa kini dan masa yang akan datang.

Catatan kami yang keempat, Doni Monardo sebagai penguasa para serdadu yang selalu loyal pada komandan tidak menempuh jalur tongkat komando untuk menyerbu musuh di medan perang, namun ia mencari konsep menyelamatkan lingkungan wilayah Kepulauan Maluku, khususnya kasus eksploitasi emas di Gunung Botak.

Doni Monardo memulai idenya dari lingkungan internal Kodam XVI/Pattimura. Implementasi dengan cepat berjalan di mana pada setiap momentum selalu dikumandangkan emas hijau dan emas biru.

Doni Monardo tidak bekerja sendiri namun menggandeng organisasi masyarakat di desa dan lembaga swadaya masyarakat untuk berpacu merealisasikan emas hijau dan emas biru.

Konsep ini berangkat dari situasi ekologi Maluku, yaitu dengan melestarikan hutan sekaligus juga memuliakan lautan.

Dua ruang habitat ini adalah tempat orang Maluku mengembangkan kualitas hidup dirinya dan keluarga.

Doni Monardo mulai merinci konsep emas hijau dalam implementasi yang nyata adalah kembali menanam komoditas cengkih, pala, gaharu, dan komoditas lokal yang cocok dikembangkan pada pulau-pulau kecil.

Emas biru diimplementasi dengan mengeksplotasi laut dengan ramah lingkungan.

Doni Monardo sadar bahwa laut di Maluku ini tidak mengalami masa tenang sepanjang waktu karena ada masa di mana laut bergelora bisa mengisolasi manusia dan wilayahnya dalam waktu yang panjang.

Konsep emas biru diterjemahkan dengan membuat keramba dan orang Maluku mulai diajak untuk beternak ikan di lingkungan pantainya yang dianggap tidak terpengaruh oleh gelombang dahsyat.

Ini dimulai dengan memelihara ikan kerapu dan kakap di keramba, selain itu pula masyarakat diajak untuk menanam rumput laut. Kegiatan ini mendapat respons positif dari semua kalangan masyarakat Maluku.

Catatan kami yang kelima, Doni Monardo meminta LSM dan masyarakat untuk bekerja secara bersinergi dan dibantu oleh setiap pemerintah daerah setempat.

Pemerintah daerah mendukung program ini dengan merealisasikan program pemberdayaan pada masyarakat.

Di Pulau Seram, masyarakat dan LSM bekerja secara simultan membangun perkebunan gaharu yang nanti dikelola oleh masyarakat desa.

Catatan kami yang keenam, pada penghujung tahun 2017 Mayjend Doni Monardo harus dimutasikan ke Kodam Siliwangi di Jawa Barat dan di akhir masa jabatannya di Maluku, ia menitipkan program emas hijau dan emas biru ini kepada pemerintah Maluku untuk meneruskan dan mengembangkan program ini dalam hubungan dengan pengentasan kemiskinan di Maluku.

Hasil dari BPS menyatakan bahwa Maluku saat ini telah naik peringkat satu tangga dari ketiga keempat provinsi termiskin setelah Papua, Papua Barat, dan NTT.

Catatan kami yang ketujuh bahwa Doni Monardo sebagai seorang perwira tinggi militer punya talenta khusus dalam mendeteksi apa yang harus dilakukan di Maluku dalam meredam isu negatif terhadap Maluku.

Selain itu, ia membangkitkan gelora dan semangat masyarakat untuk membangun di atas habitat dan ekologinya, serta mengembangkan komoditas yang cocok dengan agroekologi dan agroekosistem Maluku.

Kesimpulan dari ketujuh catatan ini layaknya membangun persepsi dalam seminggu di mana derap langkah Doni Monardo dicatat per harinya adalah keteguhan seorang Doni Monardo untuk datang menyelamatkan manusia dan lingkungannya.

Maluku adalah laboratorium bagi Doni Monardo membangun masyarakat, dan dia sukses membangkitkan semangat masyarakat untuk bisa masuk dalam peradaban yang berkualitas sebagai manusia ciptaan Khalik.

Masalah yang timbul apakah konsep ini mau dilanjutkan atau tidak dilanjutkan oleh pemerintah Maluku sebagai basis program untuk mengeluarkan masyarakat Maluku dari lingkaran kemiskinan, namun sejarah manusia Maluku telah mencatat bahwa Doni Monardo telah membangun landasan rumah yang kokoh dalam arti landasan yang cocok dengan ekologi Kepulauan Maluku.

Membangun pilar dan atap bangunan sehingga terwujud rumah besar Maluku memang belum selesai.

Doni Monardo memang seorang jenderal cerdas, penuh dengan visi-misi hidup dan berani keluar dari tangsi militer untuk menyatukan langkahnya membangun masyarakat dan lingkungannya.

Itulah esensi membangun manusia di lingkungannya.*

*) Penulis adalah Guru Besar Etno Ekologi Universitas Pattimura, Ambon


Baca juga: BNPB minta masyarakat tidak perlu takut berlebihan soal potensi bencana

Baca juga: Kepala BNPB ajak masyarakat peduli lingkungan


 

Pewarta: -
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019