Seseorang yang oleh PBB disebut telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan telah dideskripsikan sebagai orang yang cerdas, mencintai rakyatnya....
(ANTARA News) - Apa yang ada di benak Anda saat mendengar nama Kim Jong-un? Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin tidak akan terlalu terpengaruh dengan sosok pemimpin tertinggi Korea Utara itu.

Namun, bagi Kim Min-jae (21), mahasiswa tingkat akhir di suatu universitas khusus laki-laki di Seoul, Korea Selatan, Kim Jong-un adalah tokoh yang sudah dia kenal sejak masuk sekolah dasar.

Bagi Kim Min-Jae dan mayoritas generasi muda Korea Selatan lainnya, Wangsa Kim di Utara merupakan sosok di balik bayang-bayang ancaman perang dan rezim yang menyengsarakan rakyatnya demi ambisi pengembangan senjata nuklir.

Akan tetapi, mahasiswa yang ditemui saat mengikuti tur universitasnya ke Zona Demiliterisasi (DMZ) di perbatasan Korea Selatan-Korea Utara akhir November 2018 itu mengatakan sosok Kim Jong-un berubah menjadi lebih positif dalam setahun terakhir.

"Saya tahu bahwa Kim Jong-un memiliki iktikad baik untuk memperbaiki hubungan dengan kami (Korea Selatan)," kata dia.

Kim Min-jae menambahkan, progres yang ditunjukkan selama setahun terakhir di 2018 oleh Presiden Moon Jae-in dan Kim Jong-un tampaknya benar-benar akan menghasilkan suatu kesepakatan untuk perdamaian di Semenanjung Korea.

Harapan tersebut disampaikan warga Seoul itu karena ia dan rakyat Korea Selatan sudah lelah hidup di bawah kecemasan akan senjata nuklir dan perang. Tercatat pada 2017, Korea Utara meluncurkan 23 rudal  dalam 16 kali uji coba senjata nuklir.
 
Kim Min-jae (21), mahasiswa tingkat akhir di suatu universitas khusus laki-laki di Seoul, Korea Selatan, saat diwawancarai ANTARA di Zona Demiliterisasi (DMZ) Korea Selatan (30/11/2018). (ANTARA News/Azizah Fitriyanti)


Pandangan Kim Min-jae yang berubah itu juga didukung suatu survei independen pada 2018 yang menunjukkan hampir 80 persen rakyat Korea melihat Kim Jong-un sebagai sosok yang baik.

Kelompok pendukung Kim di Korea Selatan juga makin tumbuh sejak pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di Singapura pada Juni 2018.

Peneliti senior Asan Institute yang berbasis di Seoul dan Washington DC, Dr. James Kim, menyebutkan bahwa sebagian masyarakat Korea bahkan menggambarkan pemimpin Korea Utara itu sebagai tokoh yang imut sekaligus "macho".

"Jika Anda pergi ke Myeongdong, bukan tidak mungkin Anda akan menemukan boneka figurin Kim," kata James Kim menyebut salah satu kawasan turis di Seoul.

Presiden Trump pernah menyebut Kim Jong-un sebagai "rocket man" saat ketegangan antara dua kedua meningkat setelah Kim meluncurkan rudal jarak jauh Hwasong-15 pada November 2017 yang menjangkau hingga Pulau Saipan, wilayah administrasi AS.

Namun, begitu pertemuan di Singapura terlaksana, sikap Trump berubah 180 derajat, dia memuji Kim sebagai sosok yang sangat terbuka dan pemimpin yang luar biasa. Trump juga mengaku kagum pada pemimpin Korea Utara itu atas cintanya kepada negerinya.

Padahal, di dalam negeri AS sendiri, negeri yang diancam akan "dilumatkan" oleh Korea Utara, sosok Kim Jong-un masih seperti ayah (Kim Jong-il) dan kakeknya (Kim Il-sung), yang dianggap sebagai diktator yang melanggar HAM dengan penjara kerja paksa yang tidak manusiawi, hukuman mati--bahkan pada anak-anak, hingga tuduhan bahwa ia sengaja membiarkan rakyatnya mati kelaparan.

Namun, citra Kim yang negatif itu tanpa sadar dipoles oleh Trump menjadi lebih baik sejak pertemuan di Singapura Juni 2018 lalu.

Dr. James Kim dalam pertemuan dengan jurnalis Asia-Pasifik peserta program Meridian International Center yang didanai Departemen Luar Negeri AS, mengatakan bahwa sikap Trump yang kerap memuji Kim merupakan taktik agar pemimpin Korea Utara itu mau duduk di meja perundingan. Sementara itu, Kim mengambil kesempatan pada gaya kepemimpinan Trump untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan pihaknya.
 
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un meninggalkan tempat setelah menandatangani dokumen yang mengakui kemajuan pembicaraan dan berjanji untuk menjaga momentum yang ada, setelah pertemuan keduanya di Hotel Capella di Pulau Sentosa, Singapura, Selasa (12/6/2018). (REUTERS/Jonathan Ernst)


Di luar harapan yang tinggi terhadap kelanjutan pertemuan itu, kini AS dan Korut seperti menemui jalan buntu karena hingga akhir 2018, tidak ada pertemuan tingkat teknis untuk membahas perundingan denuklirisasi.

Peneliti Senior Kajian Asia Timur The Heritage Foundation Bruce Klingner mengatakan bahwa "pencitraan" Kim Jong-un oleh Trump menjadi blunder bagi Deklarasi Sentosa yang ditandatangani di Singapura.

Menurut mantan agen CIA di Korea itu, pujian Trump mungkin memang telah menjaga jalannya pertemuan tetap pada jalurnya, namun juga membuat masyarakat internasional melunakkan tekanan pada pelanggaran HAM yang terjadi di Korea Utara, serta mendorong legitimasi Kim di kancah dunia.

"Seseorang yang oleh PBB disebut telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan telah dideskripsikan (oleh Trump) sebagai orang yang cerdas, mencintai rakyatnya, telah saling jatuh cinta," kata dia.

"Bahkan, Neville Chamberlain tidak menggambarkan Hitler mencintai rakyatnya, sosok yang pintar, dan bahwa Neville jatuh cinta pada Adolf," lanjut Klingner mengacu pada mantan perdana menteri Inggris dan kanselir serta pemimpin Nazi Jerman di masa Perang Dunia II.

Citra Kim yang bergeser positif itu, menurut Peneliti Senior Foundation for Defense of Democracies Kolonel David Maxwell, merupakan buah pikiran saudarinya, Kim Yo-jong, yang juga menjabat deputi direktur Departemen Propaganda dan Agitasi Korea Utara.

Menurut mantan personel militer Angkatan Darat AS itu, dua bersaudara Kim telah sukses dalam membalikkan seluruh asumsi tentang pemimpin Korea Utara di mata dunia.

Dalam pertemuan dengan Presiden Moon Jae-in di desa gencatan senjata Panmunjom pada Mei 2018, Kim juga dinilai berhasil menampilkan sosok pemimpin yang pintar, ramah dan rendah hati.

"Sungguh mengesankan! Saya mengapresiasi rakyat Korea Selatan yang mengatakan 'ini berbeda,' bahwa mereka berharap (pada pertemuan itu). Semua orang menginginkan perdamaian dan berharap dia (Kim Jong-un) akan berubah," kata Maxwell.

"Mungkin dia akan berubah, tapi saya pikir tidak," lanjut dia.

Di wilayah perbatasan Korea Selatan dan Utara itu, Kim menampakkan kehangatan pada Moon, bagai seorang saudara yang kembali bertemu dengan kerabatnya yang lama berpisah.
 
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengucapkan selamat tinggal kepada pemimpin Korea Utara Kim Jong Un saat ia pergi meninggalkan konferensi tingkat tinggi di desa gencatan senjata Panmunjom, Korea Utara, dalam foto yang disiarkan oleh Istana Kepresidenan Blue House, Sabtu (26/5/2018). (The Presidential Blue House/Handout via REUTERS)


Peneliti Senior bidang Korea dari Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) yang berbasis di washington DC, Dr. Sue Mi Terry, mengatakan citra Kim Jong-un terdongkrak oleh sikap Moon Jae-in yang memposisikan Korea Selatan sebagai pengacara Korea Utara.

Berulang kali Presiden Moon berperan sebagai pembawa pesan Kim bagi Trump dan sebaliknya, salah satunya yang disampaikan kepada media jelang kunjungan ke Selandia Baru pada awal Desember 2018. Trump memintanya menyampaikan pada Kim bahwa Trump memiliki pandangan yang bersahabat dengan Kim dan menyukainya.

Dalam pesan via Moon itu, Trump juga berharap Kim dapat menaati semua kesepakatan dari pertemuan Juni bersama-sama sehingga dia dapat membuat Kim mendapatkan yang dia inginkan.

Strategi Korea Selatan adalah keluar dari retorika "fire and fury," istilah yang disebutkan Trump untuk menanggapi ketegangan yang meningkat dengan Korea Utara pada 2017, yakni ancaman untuk membalas dengan kekuatan yang besar yang berasal dari kemarahan.

"Karena itu saya memahami apa yang Presiden Moon coba lakukan, dia membuat Korea Selatan percaya bahwa asalkan mereka memperbaiki hubungan inter-Korea, maka situasi akan berubah. Kim akan melunak dan hadir dalam berbagai pertemuan," kata dia.

Langkah Moon tersebut juga didukung Dewan Nasional Korea, lembaga legislatif Korea Selatan, yang kini juga dikuasai partai yang kini duduk di pemerintahan.

Ketua Dewan Nasional Korea Moon Hee-sang mengatakan Presiden Moon tengah membuat kemajuan dalam memperbaiki hubungan dengan Korea Utara, dan saat Kim Jong-un berkunjung ke Seoul untuk pertama kali, dia akan disambut dengan hangat. Kim diharapkan hadir di Seoul pada akhir 2018 lalu, namun gagal memenuhinya dan hingga kini belum ada kepastian kapan dia akan melaksanakan kunjungan itu.

Lebih lanjut, Terry memperingatkan jika tidak ada strategi yang jelas untuk meraih hasil yang terukur, terutama dari pemerintah AS, pertemuan-pertemuan itu hanya akan menjadi ajang pencitraan bagi Kim yang tanpa sadar turut dipoles oleh Trump dan Kim.

"Dia (Kim) ingin diperlakukan seperti pemimpin yang normal dari sebuah negara yang normal, dan Korea Selatan memberikan itu agar dia mau melunak dan maju ke perundingan, meskipun saat ini saya tidak melihat ada kesungguhan dari Korea Utara untuk menuju ke sana," kata dia.

Tampaknya, kesungguhan Kim untuk berubah menjadi negosiator, alih-alih sekadar pencitraan, diuji pada awal tahun 2019 ini, saat pertemuan kedua dengan Trump benar-benar terlaksana. Pertemuan yang diharapkan dapat menghasilkan suatu perjanjian yang jelas serta terukur untuk denuklirisasi dan peningkatan HAM di Korea Utara.


Baca juga: Kesempatan kedua bagi Trump-Kim raih momentum perundingan denuklirisasi

Baca juga: Jalan panjang menuju perdamaian Semenanjung Korea

Baca juga: Cerita kerinduan pada perdamaian Korea di seputar meja budejige


 

Pewarta: Azizah Fitriyanti
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2019