Jakarta (ANTARA News) – Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Dio Ashar meminta Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung mengawasi sidang praperadilan bos Sugar Group Company Gunawan Jusuf terhadap Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri di PN Jakarta Selatan pada Senin (8/10).

Persidangan itu merupakan gugatan praperadilan kedua yang diajukan Gunawan.

Menurut Dio, di Jakarta, Sabtu, tidak ada peraturan mengenai batas pengajuan gugatan praperadilan.

Jika pencabutan dan pengajuan ulang gugatan praperadilan ini dilakukan karena penggugat ingin kasusnya disidangkan oleh hakim tertentu, Dio menyebutkan bahwa pihak yang merasa khawatir kalau hakim yang menyidangkan kasusnya memiliki konflik kepentingan, sebetulnya dapat mengadukan hal ini langsung ke Ketua Pengadilan Negeri Jaksel.

"Tak perlu ke MA sebab dalam Pasal 78 ayat (2) KUHAP dijelaskan KPN yang menunjuk hakim tunggal. Kalau sebelumnya pernah menyidangkan pelapor sehingga dianggap rentan konflik kepentingan, sebenarnya kepala Pengadian Negeri dapat mempertimbangkan untuk mengganti hakim itu," katanya.

Hakim tunggal Joni dijadwalkan memimpin praperadilan kali kedua yang diajukan Gunawan Jusuf terhadap Ditppiddeksus Bareskrim Polri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (8/10).

Dio pun berharap MA dan KY dapat mengawasi hakim tunggal Joni sehingga tidak melanggar kode etik hakim.

Pada sidang praperadilan sebelumnya saat Gunawan Jusuf mencabut gugatannya, Komisi Yudisial pun mengerahkan timnya untuk mengawasi jalannya sidang.

Pada sidang 24 September 2018, terlihat dua utusan KY datang dan merekam jalannya persidangan dengan kamera video.

Setelah mencabut gugatan praperadilan pada 24 September lalu, Gunawan kembali mengajukan permohonan praperadilan terhadap penyidikan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri ke PN Jaksel.

Gugatan tersebut tercatat dengan nomor: 115/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel tertanggal 24 September 2018.

Pemohon mempersoalkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/547/IX/2016/DIT TIPIDDEKSUS tertanggal 1 September 2016 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/33/I/2018/DIT TIPIDDEKSUS tertanggal 4 Januari 2018.

Selain itu, pemohon juga mempermasalahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan Nomor: B/172/XII/DIT TIPIDDEKSUS tertanggal 1 Desember 2016.

Ketiga, surat perintah penyidikan dari Bareskrim Polri itu dianggap tidak sah, tidak mempunyai nilai hukum dan harus dibatalkan karena perkara tersebut memiliki subyek, obyek, materi perkara, locus delicti dan tempus delicti yang sama (nebis in idem) dengan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Nomor: 87 PK/PID/2013 tertanggal 24 Desember 2013.

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) memastikan turut mengawasi proses peradilan tersebut. Anggota Kompolnas Andrea Poeloengan menilai polisi masih punya kewenangan untuk menyelidiki kasus bernuansa pencucian uang itu.

Menurut dia, selama belum ada proses praperadilan, polisi masih berhak untuk melakukan penyelidikan.

"Kalau belum ada keputusan praperadilan, maka hal tersebut masih kewenangan polisi. Dalam arti jika pengadilan memang belum memerintahkan untuk menghentikan penyelidikan maka itu kewajiban polisi untuk menuntaskan," kata Andrea.

Anggota Kompolnas lainnya, Poengky Indarti menjelaskan, penghentian penyelidikan atau penyidikan kasus Gunawan Jusuf bisa dilakukan bila polisi tak memiliki alat bukti yang cukup atau dihentikan demi hukum.

"Penghentian penyidikan dilakukan jika tidak cukup bukti, bukan perkara pidana atau dihentikan demi hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 109 KUHAP. Kalau ada praperadilan, tidak akan menghentikan proses lidik sidik," kata dia.

Poengky menambahkan sesuai dengan Pasal 79 KUHAP diatur bahwa proses praperadilan bisa diajukan oleh seseorang yang sudah berstatus sebagai tersangka.

Untuk kasus Gunawan Jusuf yang masih berstatus saksi namun mengajukan praperadilan, dia menyebutnya sebagai tindakan yang prematur.

Berdasarkan Pasal 79 KUHAP yang mengatur tentang praperadilan, maka praperadilan dapat diajukan oleh tersangka, keluarga tersangka atau kuasa hukumnya, yaitu terkait dengan salah tangkap, salah tahan, penghentian penyidikan atau penuntutan.

"Jadi jika Gunawan Yusuf masih berstatus saksi terlapor tetapi yang bersangkutan mengajukan praperadilan maka dapat disebut prematur," kata Poengky.

Baca juga: Bareskrim periksa 10 saksi kasus TPPU bos Gulaku
Baca juga: Bos Gulaku kembali praperadilankan Bareskrim


Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018