Jakarta (ANTARA News) - Kematian seorang remaja putri di Blitar, Jawa Timur, EP (16), mengagetkan masyarakat di Tanah Air.

Pasalnya EP yang baru lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) tersebut, tewas dengan cara bunuh diri menggantungkan dirinya pada seutas tali di pintu kamar indekosnya.

Diduga EP mengakhiri hidupnya lantaran khawatir tidak bisa diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 Blitar karena sistem zonasi yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).

Kekhawatiran EP tersebut mewakili apa yang dirasakan 4.296.557 siswa SMP yang mengikuti Ujian Nasional (UN) pada 23 April hingga 26 April lalu.

"Penderitaan" siswa SMP seakan tak ada habisnya, sudahlah harus menghadapi soal UN dengan beberapa soal dengan daya nalar tinggi atau "High Order Thinking Skills" (HOTS), yang berimbas pada turunnya nilai UN dan harus menerima kenyataan tidak bisa masuk sekolah impian karena sistem zonasi.

Akun media sosial Instagram @yunitaaftian misalnya, mengeluhkan sistem zonasi yang dinilai tidak adil.

Padahal ia ingin mengejar mimpinya namun karena sistem zonasi, ia pun harus mengubur impiannya dalam-dalam.

Akun lainnya, @fakhrihmdan, meminta agar pihak Kemendikbud membantu dirinya untuk mencarikan sekolah. Pasalnya, rumahnya terletak jauh dari sekolah kemudian hasil UN-nya juga mengecewakan. Fakhri kemudian mencoba membandingkan dengan teman-temannya yang mempunyai nilai seadanya, tapi rumahnya dekat dengan sekolah.

Sementara akun lainnya @ghsdnr._, mengeluhkan mengapa angkatannya menjadi bahan percobaan untuk segala jenis kebijakan baru mulai dari Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dengan soal HOTS sampai ke pendaftaran sekolah yang sangat merumitkan.

"Nyusahin aja, soal UN susah, sekarang ini lagi zonasi-zonasian," keluh akun @abrn_rh.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan kematian EP karena kurangnya informasi mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang baru.

"Jadi yang bersangkutan (siswa tersebut, red.) merasa tidak bisa masuk ke sekolah yang dicita-citakan. Hal ini diduga karena kurangnya informasi yang diperoleh yang bersangkutan baik dari pihak sekolah maupun orang tua," ujar dia.

Mendikbud menjelaskan meski pun berada di luar zonasi, dalam Permendikbud 14/2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dijelaskan masih diberi celah untuk masuk bagi siswa yang berada di luar zonasi.

Menurut Muhadjir jika informasinya lengkap maka seharusnya tidak terjadi hal seperti itu.

Selain itu, Mendikbud juga menduga ada beberapa masalah yang menyertai seperti siswa tersebut tidak tinggal dengan orang tuanya.

Mendikbud juga menjelaskan prestasi anak tersebut bagus dan pernah ikut olimpiade.

Untuk itu, Mendikbud mengimbau kepada pihak sekolah untuk memberikan bimbingan, terutama untuk tingkat SD dan SMP.

"Jangan biarkan anak berjalan tanpa bimbingan orang tua dan keluarga. Dalam sistem zonasi, perlu adanya bimbingan orang tua dan juga sekolah ke mana anak itu sekolah. Jangan dibiarkan anak tersebut memutuskan sendiri," katanya.

PPDB Zonasi

Sistem PPDB dengan sistem zonasi sebenarnya sudah dimulai sejak 2017 melalui Permendikbud 17/2017 tentang PPDB Pada TK, SD, SMP, SMA, SMK atau Bentuk Lain yang Sederajat.

Aturan tersebut diperbaiki dan kemudian ditetapkan menjadi aturan melalui Permendikbud 14/2018 tentang PPDB Pada TK, SD, SMP, SMA, SMK atau Bentuk Lain yang Sederajat.

Mendikbud berulang kali menjelaskan bahwa aturan tersebut mencoba menghilangkan dikotomi sekolah favorit dan nonfavorit. Jadi dengan aturan tersebut, tak ada lagi yang namanya sekolah favorit. Penerimaan siswa baru lebih mempertimbangkan jarak dari rumah ke sekolah. Berapa ketentuan zonasinya, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah (pemda), sesuai dengan kondisi geografis wilayahnya.

Harapannya, siswa tak perlu lagi mengeluarkan ongkos transportasi lebih untuk menuju ke sekolahnya masing-masing.

Mendikbud memberi contoh siswa-siswa di Jepang, yang hanya berjalan kaki ke sekolahnya masing-masing. Selain hemat, juga menyehatkan.

"Kalau tidak terima dengan sistem zonasi, masuklah ke swasta. Nantinya kami akan mendorong agar sekolah swasta dibenahi, ditingkatkan kualitasnya jangan sampai sekolah didirikan hanya untuk mengharapkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)," jelas mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu.

Permendikbud itu merupakan penyederhanaan dari peraturan sebelumnya dan memperbaiki beberapa ketentuan yang mengatur tata cara pelaksanaan PPDB.

Pengaturan itu mulai dari persyaratan, seleksi, sistem zonasi, termasuk pengaturan jumlah siswa dalam satu rombongan belajar dan jumlah rombongan belajar dalam satu satuan pendidikan.

Beberapa hal yang diatur dalam Permendikbud itu, antara lain, tentang waktu pelaksanaan PPDB untuk sekolah negeri yang dimulai sejak Mei atau sebelum Juni-Juli.

Selanjutnya, mengenai persyaratan usia. Misalnya pada jenjang SD, usia tujuh tahun wajib diterima, kecuali bagi peserta didik yang tidak mampu pada satuan pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus, dan satuan pendidikan di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) serta penghapusan ketentuan rombongan belajar.

Permendikbud itu juga mengatur tentang persyaratan PPDB. Pada jenjang pendidikan SD, usia tujuh tahun atau paling rendah enam tahun pada 1 Juli tahun berjalan dapat diterima sebagai peserta didik baru.

Pengecualian paling rendah enam tahun enam bulan pada 1 Juli tahun berjalan bagi calon peserta didik yang memiliki kecerdasan istimewa atau bakat istimewa dan kesiapan psikis yang dibuktikan dengan rekomendasi tertulis dari psikolog profesional.

Selanjutnya pada jenjang SMP, usia maksimal 15 tahun dan memiliki ijazah atau Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) SD, dan dapat melihatkan nilai hasil ujian SD, serta prestasi di bidang akademik dan nonakademik yang diakui sekolah.

Sedangkan untuk jenjang SMA, persyaratan masuknya maksimal berusia 21 tahun, memiliki ijazah atau STTB SMP dan memiliki Sertifikat Hasil Ujian Nasional SMP.

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemdikbud, Hamid Muhammad, mengatakan kriteria utama dalam PPDB adalah jarak bukan zonasi.

Hamid menjelaskan berdasarkan Permendikbud 14/2018 tentang PPDB disebutkan yang menjadi kriteria utama dalam penerimaan siswa baru, yakni jarak sesuai dengan ketentuan zonasi.

"Itu (jarak, red.) yang diutamakan, kedua baru faktor lainnya, seperti umur," katanya.

Hamid menambahkan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat minimal 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

Sebanyak lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial.

Dalam peraturan itu juga dijelaskan sekolah wajib menerima siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu, paling sedikit 20 persen.

Hamid meminta agar sekolah maupun pemerintah daerah menaati peraturan PPDB tersebut.

Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan mengenai sanksi bagi sekolah yang tak menaati peraturan tersebut, mulai dari teguran tertulis, penundaan atau pengurangan hak, pembebasan tugas, hingga penghentian sementara.


Khawatir

Tak hanya para siswa yang khawatir dengan aturan PPDB Zonasi tersebut, para orang tua pun juga mempunyai kekhawatiran senada.

"Sejauh ini praktik di lapangan masih berdasarkan nilai UN bukan zonasi. Masalahnya, nilai UN anak saya tidak begitu tinggi. Mau masuk ke swasta, biayanya besar saya tidak sanggup," kata seorang orang tua siswa, Suryati, yang anaknya baru lulus SMP.

Suryati mengaku kebingungan mencari sekolah lanjutan untuk anaknya tersebut.

Pemerhati pendidikan dari Eduspec Indonesia, Indra Charismiadji, meminta Kemdikbud lebih gencar dalam menyosialisasikan aturan baru itu.

"PPDB melalui sistem zonasi ini merupakan suatu pola yang cukup baik untuk pemerataan akses pendidikan. Namun sosialisasi harus lebih gencar lagi, apalagi sudah ada satu siswa yang bunuh diri karena kurangnya informasi mengenai PPDB ini," kata dia.

Indra juga meminta agar pemerintah memastikan masyarakat prasejahtera tidak ditolak di sekolah negeri dengan alasan apapun.

Dalam aturan tersebut, dijelaskan sekolah harus menerima siswa dari keluarga miskin minimal 20 persen dari jumlah kuota.

"Siswa miskin jangan dibatasi masuk ke sekolah. Seharusnya yang dibatasi yang kaya, masa `udah` kaya sekolah juga gratis," cetus Indra.

Pewarta: Indriani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018