Jakarta (ANTARA News) - Selaku pemimpin Asian Conference on Religions for Peace (ACRP), Din Syamsuddin mendorong penyelesaian masalah Rohingya melalui pengembangan koeksistensi damai serta pengakuan kewarganegaraan warga Rohingya saat bersama sejumlah pemuka agama dunia bertemu dengan pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi di Naypyidaw pada Jumat (25/5).

Dalam keterangan persnya, Senin, tokoh agama yang menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar Agama dan Peradaban itu mengemukakan bahwa perkembangan di negara bagian Rakhine, Myanmar, telah menimbulkan keprihatinan di kawasan Asia Tenggara dan dunia, dan karenanya perlu ditangani secara tepat.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia itu mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan persoalan itu kecuali dengan pengembangan koeksistensi damai serta pemberian dan pengakuan kewarganegaraan warga Rohingya.

Sementara Aung San Suu Kyi pada gilirannya mengatakan bahwa Myanmar sangat menghargai hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi, dan menegaskan bahwa persoalan di Rakhine dan wilayah-wilayah lain di Myanmar akan dapat diselesaikan dengan semangat perdamaian dan rekonsiliasi.

Tokoh agama dunia yang bertemu dengan Suu Kyi bersama Din antara lain pemuka agama Buddha dari Supreme Patriarch Sri Langka, Supreme Patriarch Kamboja, dan Presiden Risho Kosakai dari Jepang Rev. Niwano; Uskup Gunnar Stalsett dari Eropa, Tokoh Hindu India Madame Vinu Aram, Rev. Koichi Sugino selaku Wakil Sekjen Religions for Peace Internasional dari New York.

Dalam pertemuan tersebut juga diserahkan surat yang dihasilkan dari Konsultasi Tingkat Tinggi yang berlangsung selama dua hari sebelumnya di Yangon, yang pada intinya mengajak pemerintah dan rakyat Myanmar menyelesaikan konflik bernuansa agama dan etnis dengan semangat kemanusiaan, perdamaian, dan rekonsiliasi.

Suu Kyi menyambut baik ajakan tersebut dan usul delegasi untuk mengadakan Konferensi Internasional tentang Myanmar yang diharapkan bisa menjadi tonggak penyelesaian konflik secara berkeadilan di negara itu.

Sedikitnya 750.000 warga Rohingya menyeberang ke Bangladesh dan tinggal di kamp-kamp pengungsian kumuh sejak Agustus tahun lalu menyusul penindakan militer yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa setara dengan pembersihan etnis.

Myanmar yang mayoritas penduduknya Buddha selama ini menolak memberikan kewarganegaraan bagi minoritas muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, menegaskan bahwa mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh meski banyak di antaranya telah berada di sana bergenerasi-generasi.

Baca juga: PBB desak Myanmar selidiki penindasan Rohingya
 

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018