Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan pendampingan hukum terhadap dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) dan ahli perhitungan kerugian dampak lingkungan Basuki Wasis yang digugat perdata oleh Gubernur Sulawesi Tenggara non-aktif Nur Alam.

"Tentu KPK memberikan pendampingan kepada ahli tersebut. KPK sangat menyayangkan hal ini karena dikhawatirkan dapat berdampak pada ahli lain yang hendak memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.

Basuki Wasis diminta KPK untuk menjadi saksi ahli dalam perkara korupsi Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) dengan terdakwa Gubernur Sulawesi Tenggara non-aktif Nur Alam.

Basuki Wasis mengungkapkan bahwa perkara korupsi ini mengakibatkan kerugian negara yang berasal dari musnahnya atau berkurangnya ekologis/lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabaena sebesar Rp2,728 triliun. Keterangan tersebut yang menjadi dasar bagi Nur Alam untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Cibinong.

"Di UU LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) ada pasal bahwa saksi dan ahli tidak bisa digugat baik pidana maupun perdata karena keterangan yang diberikan," tambah Febri.

Sedangkan jaksa penuntut umum KPK yang menangani kasus tersebut juga sepakat dengan pendampingan tersebut.

"Kami dalam tiga minggu terakhir sudah membahas hal ini bersama Pak Wasis, JPU mengusulkan pendampingan dan bantuan hukum melalui intervensi selaku turut tergugat," kata JPU KPK.

Dalam perkara ini, Nur Alam pada 28 Maret 2018 sudah divonis 12 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp2,7 miliar dan pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah Nur Alam selesai menjalani hukumannya karena dinilai terbukti melakukan korupsi dengan memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1,59 triliun serta menerima gratifikasi sebesar Rp40,268 miliar.

Baca juga: Gubernur Nur Alam divonis 12 tahun, ini nasib hartanya
Baca juga: Gubernur Sultra Nur Alam ajukan banding


Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang meminta agar Nur Alam divonis 18 tahun dan pidana denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan ditambah membayar uang pengganti sebesar Rp2,7 miliar.

Majelis hakim menolak tuntutan jaksa yang menyatakan perbuatan Nur Alam merugikan keuangan negara sebesar Rp4,325 triliun yang berasal dari kerugian ekologis sebesar Rp2,738 triliun sebagaimana Laporan Perhitungan Kerugian Akibat Kerusakan Tanah dan Lingkungan Akibat Pertambangan PT AHB kabupaten Buton dan Bombana yang terdiri atas biaya kerugian ekologis sebesar Rp1,45 triliun, biaya kerugian ekonomi sebesar Rp1,24 triliun dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp31 miliar.

Hakim hanya menyetujui pendapat ahli Agus Setiawan yang mengatakan hilangnya kekayaan negara berupa nikel ore sebanyak 9.311.847 wmt sebagai akibat kegiatan pertambangan PT AHB. Jumlah tersebut meliputi nikel ore yang telah terjual sebanyak 7.161.090 wmt dan yang belum terjual (persediaan nikel) 2.078.235 wmt sehingga kerugian keuangan negara atas hilangnya kekayaan negara berupa nikel ore yang telah terjual sebanyak 7.161.090 wmt atau senilai Rp1,593 triliun yang merupakan keuntungan PT Billy Indonesia.

"Ahli Basuki Wasis tidak dapat membuktikan bahwa kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT AHB telah menimbulkan kerusakan tanah dan lingkungan yang merupakan kerugian keuangan negara," kata hakim Joko Subagyo.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018