Lahan di sekitar jalan tanah berbatu menuju Dusun Likotuden di Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT),  begitu kering.

Pemandangan serba kuning dari padi, jagung, semak, pohon yang mengering di sana tampak begitu kontras dengan panorama indah Kota Larantuka di kejauhan yang berlatar belakang Gunung Ile Mandiri yang hijau, Pulau Adonara, dan Pulau Solor yang terpisahkan oleh Selat Flores nan biru.

Secuil ketidaksempurnaan di antara keindahan alam yang dianugerahkan kepada masyarakat Lamaholot, yang hidup dari bagian barat Flores Timur hingga Tanjung Bunga, Adonara, Solor, hingga Lembata.

El Nino panjang yang terjadi sejak 2015 sungguh membuat masyarakat Lamaholot harus hidup lebih keras dari mereka yang hidup di wilayah barat Pulau Flores.

Minimnya curah hujan juga membuat gagal panen di sejumlah desa di Pulau Solor, seperti Desa Balaweling I dan II, Nusadani, dan Daniwato.

Tanaman padi ladang, jagung, dan palawija mati, kering meranggas, takluk oleh teriknya sinar matahari. Itu pula yang terjadi di Dusun Likotuden, dusun yang terletak di sebelah utara gunung berapi kembar Lewotobi.

"Hanya 20 persen padi dan jagung yang bisa kami panen di sini. Tapi dua tahun terakhir ini, tidak panen sama sekali," kata Kepala Desa Kawalelo Paulus Ike Kola.

Paulus menyebut perubahan iklim menjadi biang kerok dari kegagalan panen padi, jagung, dan kedelai di lahan milik 62 Kepala Keluarga (KK) di sana.

Namun ada yang menarik yang bisa dilihat hidup di atas tanah tandus Likotuden, yakni sorgum. Tumbuh bersamaan dengan padi ladang dan jagung yang telah mati kekeringan, sorgum satu-satunya yang tampak hijau diantara tanah di lereng-lereng berbatu.

Hamparan kebun sorgum di kanan dan kiri jalan tanah berbatu dengan latar belakang gunung berapi kembar Lewotobi dan langit biru menandakan keberadaan Dusun Likotuden.

Baru sekitar dua tahun terakhir sorgum tumbuh dengan subur di sana, saat Mama Loretha, sapaan dari seorang penggerak pertanian pangan lokal lahan kering di Flores Timur Maria Loretha, memperkenalkannya pada masyarakat dusun tersebut.

Ini kali kedua petani di Dusun Likotuden panen raya sorgum yang mencapai 100 persen. Para petani tampak begitu gembira dengan hasil yang didapat, perayaan menyambut panen raya pun dilakukan, sorgum ditanak siap disajikan bersama ikan bakar yang ditangkap dengan tangan di teluk dekat dusun dan ayam kampung bakar yang dipelihara dengan pakan sorgum.

Dari lahan seluas 32 hektare (ha) yang ditanami sorgum, tahun ini petani di Dusun Likotuden bisa menghasilkan hingga 90 ton. "Satu hektare lahan bisa menghasilkan tiga hingga empat ton sorgum. Jika lahannya berbatu masih bisa menghasilkan hingga dua ton, itu sudah termasuk banyak," ujar Paulus.

Petani-petani sorgum di dusun tersebut tidak menggunakan pupuk. Bibit sorgum cukup ditanam dan petani hanya perlu membersihkan rumput yang mungkin tumbuh di sela-sela kebun sorgum, lanjutnya.

"Kawalelo memang sudah sejak awal tidak pernah pakai pupuk, dan beberapa kali ada bantuan pupuk untuk jagung tapi tidak dipakai. Bantuan yang kami butuhkan air," ujar Paulus.

Dalam waktu 75 hari sorgum sudah bisa dipanen. Jika ada hujan maka sorgum bisa dipanen dua kali dalam satu kali masa tanam, katanya.

Sorgum yang dianggap sebagai tanaman asli ini juga pernah tersaji di piring-piring masyarakat Lamaholot di Pulau Lembata sebagai makanan poko.

Kini masyarakat di Flores Timur hingga Lembata mulai kembali melihat dan menanam sorgum di ladang-ladang kering mereka.

Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016