Surabaya (ANTARA News) - Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyikapi masalah Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang sudah meresahkan masyarakat.

"Itu (Gafatar) bukan wilayah kita, karena Kemenag hanya membina enam agama yang sudah diakui UU. Di luar keenam agama itu menjadi kewenangan majelis agama," kata Kepala Kanwil Kemenag Jatim Mahfud Shodar di Surabaya, Sabtu.

Oleh karena itu, katanya, Gafatar yang dikaitkan dengan Islam menjadi kewenangan MUI. "Itu sama dengan kalau ada sinode baru, maka hal itu menjadi kewenangan Majelis Agama Kristen untuk menyikapi," katanya.

Meski bukan kewenangannya, pihaknya bisa memberi saran kepada MUI untuk segera menyikapi agar tidak meresahkan masyarakat, apalagi di Jatim diklaim ada 945 orang anggota Gafatar yang menyebar di seluruh Jatim.

Pandangan agak berbeda disampaikan oleh pakar Ilmu Kemasyarakatan dari UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Prof Akhmad Muzakki MAg.

Ia menegaskan bahwa Gafatar merupakan fenomena yang menuntut NU dan Muhammadiyah untuk mengubah gaya berdakwah.

"Gafatar itu bukan kelompok yang sama sekali baru, karena organisasi itu merupakan metamorfose dari Al-Qiyadah Al-Islamiyyah dan Komar (Komunitas Millah Abraham), namun keberadaannya tetap menarik masyarakat," katanya.

Oleh karena itu, akademisi yang juga peneliti gerakan radikalisme di Indonesia itu menilai ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah harus banyak belajar kepada Gafatar dalam hal strategi berdakwah.

"Bagaimanapun, NU dan Muhammadiyah harus mengubah gaya berdakwah agar masyarakat lebih tertarik kepada NU dan Muhammadiyah daripada Gafatar, meski Gafatar secara keilmuan memang masih perlu dikritisi itu, tapi menyalahkan Gafatar saja kurang bijak," katanya.

Menurut dia, Gafatar merupakan kelompok "splinter" (sempalan) yang menarik karena gaya berdakwahnya sesuai fenomena keagamaan di tengah masyarakat yakni masyarakat saat ini mulai banyak yang kelompok produktif, tapi mereka rindu dengan nilai-nilai spiritual.

"Kelompok mapan itu juga ingin ketenangan, tapi spiritualitas yang diharapkan tidak ditemukan pada NU dan Muhammadiyah, karena mereka langsung bicara hukum atau peraturan dalam Islam, padahal Nabi Muhammad SAW justru mengawali Islam dengan akhlak, atau para Wali Songo memadukan dengan budaya. Itulah dakwahnya," katanya.


Pewarta: Edy M Ya'kub
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016