Jakarta (ANTARA News) - Pemilik kelompok usaha Artha Graha Tomy Winata sekaligus investor PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI), mempertanyakan penolakan sejumlah pihak terkait revitalisasi Teluk Benoa padahal proyek tersebut dimaksudkan untuk membangun pariwisata Bali.

"Kalau proyek ini batal, silahkan, tapi saya minta keadilan, saya menantang masyarakat dan LSM untuk moratorium seluruh proyek yang belum memiliki izin perubahan peruntukkan kawasan di sekitar Bali, terutama di tanjung dan Teluk Benoa juga dimoratorium atau yang sudah terlanjur dibangun dirobohkan," kata Tomy Winata kepada wartawan di Jakarta, Minggu.

Pria yang akrab disapa TW itu menjelaskan kalau memang perlu dilakukan moratorium, dia siap asalkan semuanya di moratorium. Jangan hanya proyek revitalisasi Tanjung Benoa saja.

Menurut dia, Bali butuh pembangunan pariwisata untuk mengimbangi negara-negara tetangga yang gencar membangun pariwisatanya seperti Singapura, Malaysia, Thailand.

Bahkan, Tomy khawatir, dibalik penolakan tersebut ada campur tangan asing yang tidak ingin pariwisata Bali maju. Alasannya, kemajuan Bali akan menarik wisatawan untuk berkunjung dan menjadi pesaing bagi dunia pariwisata di negara lain.

TW menambahkan bahwa sebelumnya dia juga pernah menggarap proyek reklamasi di Pantai Kuta, Bali, seluas 4,5 hektare untuk dikembangkan menjadi hotel dan villa.

"Pada saat itu tidak ada pihak yang menolak, berbeda dengan sekarang, proyek belum apa-apa tapi sudah ada kendala opini, ini soal rasa keadilan bagi investor yang telah mengeluarkan banyak dana," katanya.

Dari nilai total proyek yang mencapai Rp30 triliun, PT TWBI diperkirakan telah membelanjakan sekitar Rp1 triliun untuk ongkos konsultan, uji lapangan dan uji kelayakan.

Sementara itu, berdasarkan data TWBI, setidaknya ada 61 bangunan yang menyalahi izin kawasan. Bahkan ada yang membuang limbah di sekitar kawasan mangrove.


Dukungan pakar

Pakar Kelautan dan Pengelolaan Pesisir IPB Prof. Dr. Ir. Dietriech G Bengen mengatakan perubahan status Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjadi kawasan pemanfaatan umum dinilai telah sesuai dengan faktor keilmuan.

Menurut dia, kawasan konservasi secara rutin dikaji ulang oleh Badan Litbang Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Memang semua kriteria sudah tidak memenuhi sebagai kawasan konservasi perairan, salah satunya karena berdiri tol atas laut yang menghubungkan Nusa Dua-Ngurah Rai-Tanjung Benoa yang melintasi Teluk Benoa," katanya.

Selain itu, kata dia, kawasan Teluk Benoa juga mengalami sedimentasi sehingga permukaan laut naik belasan sentimeter per tahun. Akibat pendangkalan tersebut, Teluk Benoa susut alias tidak lagi tergenang air dalam dua kali sehari

Selain itu, ada pencemaran akibat pembuangan sampah yang tidak terkendali dan degradasi ekosistem pesisir, sumber daya ikan dan mangrove.

Dia menambahkan, revitalisasi Teluk Benoa tidak akan merusak biota laut dan lingkungan di kawasan tersebut.

"Karena begini, dengan adanya revitalisasi, pengembang akan membuat alur dan diperdalam sehingga saat surut masih bisa tetap dilalui air dan air tersebut sampai ke mangrove," katanya.

Terlebih, tambah dia, di kawasan proyek tidak ada terumbu karang.

"Terumbu karang ada di luar teluk. Selain itu revitalisasi yang dilakukan jauh dari daratan, jadi tidak akan menimbulkan kenaikan air yang signifikan kalau dilakukan reklamasi," katanya.

Bahkan, menurut dia, dengan adanya revitalisasi akan meningkatkan daya dukung lingkungan.

Sementara itu dengan terbitnya Perpres Nomor 51/2014 yang mengubah status Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjadi kawasan pemanfaatan umum, PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) mengajukan izin lokasi proyek reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektare meliputi 400 hektare area pengembangan, 200 hektare ruang terbuka hijau, dan 100 hektar kanal atau badan.

Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015