Robi Ardianto pernah disangka jadi penculik saat menjadi relawan pendidik di sekolah untuk anak-anak jalanan. Pria berusia 27 tahun itu juga pernah mendapat omelan dari orangtua murid-muridnya yang tidak biasa.

"Orang tuanya ribut anaknya tidak pulang-pulang, saya pun disangka penculik," kata Robi, menuturkan pengalaman ketika mengajak anak-anak yang belajar di sekolah Save Street Child (SSC) mengikuti kegiatan di Depok sampai malam.

Setelah membawa anak-anak didiknya kembali ke Bogor dan mengantar mereka ke rumah masing-masing, lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Jakarta tahun 2011 itu keesokan harinya mendapat pesan singkat dari orangtua murid yang meminta dia tidak mengajar anak-anak mereka lagi.
 
Robi, yang sehari-hari bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan, kemudian mengatakan bahwa menjadi relawan pendidikan anak jalanan tidak mudah, tapi juga tidak sulit.

"Kalau kita biasa bertemu dengan anak biasa, kalau dimarahin mereka akan menurut, tapi dihadapan anak jalanan, jika kita marahin, mereka akan semakin tambah menjadi," kata lelaki yang biasa dipanggil Obbie itu.

"Adik jangan bercanda, kita sedang belajar, nah mereka akan tambah berlarian dan tidak beraturan," lanjut dia.

Obbie, yang dipercaya menjadi kepala sekolah SSC Bogor, mengatakan para relawan menggunakan pendekatan persuasif dalam upaya mereka mendidik anak-anak yang lahir dari keluarga miskin itu.

Para relawan yang setiap Minggu membantu anak-anak jalanan belajar, ia menjelaskan, berusaha melakukan pendekatan personal dan menggunakan pola permainan yang atraktif untuk menarik minat anak-anak belajar.

"Emosi anak-anak itu lebih tidak terkontrol, namun apabila kita bisa dekat dengan mereka, mereka akan dekat dengan kita," ungkap Obbie.

Meski harus bersiasat membagi waktu untuk kerja, keluarga dan kegiatan sosial, Obbie dan relawan lainnya mendapat kepuasan pribadi dengan membantu anak-anak yang kurang beruntung.

"Membagi waktu itu komitmen, namun minimal ada satu dari tujuh hari untuk kita curahkan berbuat sosial dan kemanusiaan," katanya.


Ambil bagian


Masa lalu Angga Roman Widya kelam. Hampir 10 tahun lelaki asal Jawa Timur itu kecanduan obat-obatan terlarang dan hidup di jalanan. Tapi dia berhasil bangkit dan berusaha melakukan apa yang dia mampu untuk membantu sesama.

Pria kelahiran 15 Agustus 1974 yang pernah menjajal hidup bohemian, mengonsumsi putaw sampai harus masuk ke pusat rehabilitasi, dan jadi pengedar ganja itu kini menjadi pengajar sekaligus pembimbing di sekolah Master (Masjid Terminal) Indonesia, sekolah yang menampung anak-anak jalanan di kawasan Depok, Jawa Barat.

Bersama sekitar 150 orang lainnya dia membantu anak-anak belajar. "Karena mereka berlatar belakang dari jalanan, maka cara didiknya juga gaya jalanan, kita ajak main, baru kita pancing, ini loh hal keren, dari situ anak-anak mau belajar," katanya.

Sambil membantu anak-anak jalanan belajar, Angga melanjutkan pekerjaannya sebagai tukang parkir dan setelah dua tahun menjadi relawan punya tabungan cukup untuk melanjutkan pendidikan ke satu universitas swasta di Ciputat.

Kesibukannya kuliah tidak membuat waktu untuk sekolah Master terganggu. Pagi hari dia kuliah, pukul 14.00 sampai malam dia mengajar anak-anak di sekolah Master, dan pukul 03.00 dia bangun untuk bekerja sebagai tukang parkir sampai pukul 06.00.

Pria yang sudah memperoleh gelar sarjana dari STAI Qudwah dan menempuh pendidikan akta empat itu mengajari anak-anak jalanan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, hingga seni budaya.

Angga, yang jika mau bisa mendapat uang transpor saat yayasan punya dana lebih, ingin terus menjadi relawan selama sekolah gratis yang memiliki 205 orang siswa Paud, 353 siswa SD, 197 siswa SMP, dan 592 siswa SMA itu masih membutuhkan tenaganya.

"Ketika melihat anak-anak belajar dengan keterbatasan dan problematikanya, saya termotivasi, untuk belajar lagi dan mengajarkan," kata suami Muslikha Istiqomah itu.

"Ketika melihat anak-anak ini diselamatkan dari jurang kehancuran, itu nilainya sama dengan menyelamatkan dunia dan isinya," ungkapnya.


Berbagi Ilmu


Beberapa anak muda juga berbagi ilmu dengan anak-anak jalanan di Kampung Mongol, daerah yang kebanyakan penghuninya para pengamen, pemulung dan pekerja jalanan di Ciheuleut, Bogor.

Mahasiswi Institut Pertanian Bogor Aulia Rizki dan Indah Khoiriyah dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah prihatin melihat nasib anak jalanan yang tidak bisa mendapatkan pendidikan layak dan membentuk Komunitas Rumah Merah Putih untuk membantu mereka.

Sejak Desember 2012, komunitas yang terdiri atas orang-orang muda itu setiap akhir pekan rutin berbagi ilmu dengan anak-anak jalanan di Kampung Mongol.

Sekarang ada 50 anak yang tiap Minggu berkumpul bersama Komunitas Rumah Merah Putih, setengah dari mereka putus sekolah.

Anak-anak yang biasa mengamen di jalanan Kota Bogor itu selalu antusias belajar. Ketika ada relawan pengajar yang datang, mereka merta menyerbu dan mencium tangan mereka lalu bertanya: "Kak, kapan belajar, Kak, kapan?"
 
Setiap Sabtu, anak-anak muda Komunitas Rumah Merah Putih yang kebanyakan mahasiswa berbagi ilmu dengan anak-anak jalanan di Warung Jambu, Bogor, dan hari Minggu kegiatan mereka beralih ke Kampung Mongol.

Pelajaran yang diberikan beragam, mulai dari materi pelajaran yang biasa didapat di sekolah, sampai pelajaran tentang kesehatan, moral, agama, hingga keterampilan. 

Mereka bekerja sama dengan mahasiswa fakultas kesehatan masyarakat dan fakultas kedokteran gigi, Badan Narkotika Nasional, hingga MyQuranCom dan Indonesia Mengajar untuk berbagi ilmu dengan anak-anak jalanan.

"Yang miris, tiap kita sedang belajar ada saja orang tua yang memanggil anaknya untuk 'berangkat'," kata Aulia tak bersemangat, seorang anak usia balita mendekati dia lalu bersantai di pangkuannya.
 
"Berangkat" adalah istilah yang digunakan para orangtua di Kampung Mongol untuk meminta anak mereka pergi bekerja, mencari uang di jalanan dengan mengamen.

"Nih, dia sering banget waktu belajar dipanggil ibunya untuk cari uang," katanya menunjuk seorang anak usia balita yang bermanja di sampingnya, namanya Cika.

"Kami tidak punya hak untuk melarangnya, walaupun anak itu masih ingin belajar," tambah dia.
 
Kegiatan Komunitas Rumah Merah Putih tak hanya belajar mengajar. Mereka juga berusaha membantu anak-anak putus sekolah lewat program Kakak Asuh, yang memberikan bantuan biaya kepada anak-anak putus sekolah untuk melanjutkan pendidikan formal. Saat ini ada lima anak yang mendapatkan bantuan lewat program itu.
 
Namun masalah tidak selesai dengan memberikan bantuan. Saat ingin mendaftarkan anak ke sekolah, mereka terkendala persyaratan administrasi karena anak-anak itu tidak punya akte kelahiran.

"Maka kami buatkanlah akta kelahiran. Tapi setelah diketahui, ternyata semua anak belum punya akta," kata Aulia, mahasiswa program magister IPB jurusan Manajemen Bisnis.

Program Rumah Merah Putih Peduli Akta sudah mencetak lima dokumen untuk anak dan 30 lainnya sedang dalam proses.

"Susah sekali buatnya, karena banyak anak yang orang tuanya tidak memiliki surat nikah karena hilang atau terbakar," kata perempuan berhijab berusia 23 tahun tersebut.
 
Aulia dan teman-temannya berusaha membantu anak-anak jalanan di kampung itu semampunya. Di sana mereka tidak hanya memberi, tapi juga menerima.

"Tuhan menghadirkan saya dengan keadaan serba cukup adalah untuk membantu orang lain," kata Ratih Septiyanti (20), relawan bergabung sejak Juli 2013.
 
"Pelajaran tentang hidup banyak didapat dari sini, dari mereka," kata mahasiswa jurusan agribisnis Institut Pertanian Bogor itu.
 
Sementara Aulia mengaku mendapat pelipur lelah dari kegiatan-kegiatan Komunitas Rumah Merah Putih.

"Melihat kepolosan mereka, tingkah mereka itu bikin nyaman. Saya mendapatkan kebahagiaan di sini," kata dia sambil memandang ke arah anak-anak yang bermain.
 
"Saya berharap pemerintah Indonesia mau bergabung dengan komunitas seperti ini, minimal mau berbagi mendengarkan cerita kami. Dan untuk Presiden baru, kapan-kapan berkunjunglah ke Rumah Merah Putih," katanya.
 
Seorang anak laki-laki kemudian mendatanginya dengan buku Iqra. Kepadanya Aulia bertanya,"Agama di Indonesia ada apa saja?"

"Islam, Kristen, Papua...," jawab anak lelaki itu, membuat Aulia tergelak sesaat, lantas menjelaskan perihal agama-agama di Indonesia.
 

Oleh Sigid Kurniawan dan Aditya Ramadhan
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014