Kue keranjang atau kadang disebut kue ranjang yang biasa dijumpai pada perayaan Imlek juga terhidang saat Lebaran di beberapa wilayah Kabupaten Tangerang.

Sepekan sebelum Hari Raya Idul Fitri tiba, setiap rumah disibukkan dengan aktivitas membuat penganan dari tepung ketan yang dikenal warga Tangerang dengan nama kue China itu.

Para perempuan disibukkan dengan menumbuk beras ketan untuk dijadikan tepung. Mereka masih menggunakan alu untuk menumbuk.

"Menumbuk menggunakan alu bisa mendapatkan ukuran tepung yang sesuai. Kalau beli tepung yang sudah ditumbuk atau digiling menggunakan blender, hasilnya kurang bagus," kata Hanifah (42), warga Tangerang.

Hanifah dan tetangganya mengaku tidak tahu pasti sejak kapan tradisi membuat kue keranjang untuk Lebaran itu berlangsung.

"Sejak saya belum lahir, tradisi ini juga sudah ada," ujar Hanifah lalu tertawa.

Membuat kue tersebut susah-susah gampang. Menurut Hanifah, kue itu tidak bisa dibuat dalam satu waktu.

Tahap pertama, gula pasir atau gula pasir yang sudah dicampur dengan gula aren dimasak dengan satu gelas air. Air gula itu kemudian dicampur dengan tepung ketan dan dipulung. Adonan tersebut lantas diletakkan di lumpang untuk ditumbuk agar halus.

Selanjutnya, adonan yang sudah halus dipindahkan ke baskom dan ditambahkan air gula sedikit demi sedikit. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan pada malam hari.

"Setelah itu adonan dipindahkan ke keranjang-keranjang yang sudah dialas dengan kertas cellophaan, plastik atau daun pisang. Taruh di langseng dan dimasak hingga matang," jelas Hanifah.

"Membuatnya susah-susah gampang. Kalau salah langkah, bisa-bisa kue tersebut tidak jadi atau bentuknya jelek," tambah dia.

Kue yang pada awal mulanya merupakan kue persembahan itu tidak dinikmati sekaligus ketika Lebaran tiba. Kue itu bisa bertahan hingga lima bulan.

"Kue ini lebih nikmat dimakan jika sudah digoreng dengan tepung," ujar warga Tangerang lainnya, Aan (37).

Selain digoreng, kue tersebut juga biasa disajikan dengan kelapa muda parut atau dikukus dengan santan.


Akulturasi budaya

Kue keranjang juga dikenal dengan nama Nian Gao, kata dalam Bahasa China yang berarti kemakmuran. Bangsa China menyediakan kue keranjang ketika tahun baru tiba agar bisa mendapatkan kemakmuran.

Selain itu ada legenda mengenai Nian Gao. Kata Nian berasal dari nama monster yang tinggal di dekat pedesaan. Monster Nian ini seringkali memangsa hewan-hewan hutan.

Karena pada musim dingin semua hewan tidur, monster Nian mulai mencari makanan lain. Pergilah dia ke sebuah pemukiman warga untuk mencari makan. Hal ini diketahui oleh salah satu warga yang bernama Gao.

Khawatir monster Nian akan memangsa penduduk desa, Gao pun membuat makanan dari tepung ketan dan menaruhnya di depan rumah warga.

Ketika monster Nian datang bermaksud memangsa warga, dia akhirnya memakan kue yang dibuat Gao. Setelah kenyang, Nian pun kembali ke sarangnya dan warga desa selamat.

Untuk merayakan keselamatan mereka, warga pun membuat kue ini setiap tahun baru dan menamakannya kue Nian Gao.

Etnis Tionghoa meyakini pada awalnya kue itu merupakan hidangan untuk menyenangkan Dewa Tungku, agar membawa laporan yang menyenangkan kepada Raja Surga.

Kue keranjang berbentuk bulat yang rasanya legit itu biasanya disajikan pada perayaan Tahun Baru China dengan cara ditumpuk mengerucut ke atas.

Bagian atas tumpukan kue keranjang pun seringkali dihias dengan huruf China yang melambangkan kemakmuran.

Bentuknya yang bulat juga bermakna agar keluarga yang merayakan tahun baru dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang.

Tokoh masyarakat Tangerang, Haji Khaeruddin (65), mengatakan tidak mengetahui pasti mengapa kue itu kini juga dihidangkan saat Lebaran.

"Mungkin karena akulturasi budaya antara Etnis Tionghoa dan suku asli Tangerang yakni Sunda. Sehingga kue yang biasanya ada saat Imlek juga terhidang ketika Lebaran tiba," katanya.

Khaeruddin menambahkan, tradisi itu tak bisa dilepaskan dengan keberadaan Etnis Tionghoa di Tangerang, yang dikenal warga dengan sebutan China Benteng.

China Benteng merupakan Etnis Tionghoa keturunan imigran China Hokkian. Berbeda dengan etnis Tionghoa kebanyakan di Tanah Air yang berkulit kuning, China Benteng berkulit agak gelap.

"Etnis Tionghoa itu datang ke Tangerang sekitar tahun 1.600. Sekarang sudah memasuki generasi ketujuh," tambah kakek tiga cucu itu.

Menurut dia, China Benteng membaur baik dengan warga sekitar. Sekarang warga China Benteng tak hanya beragama Buddha, ada juga yang beragama Kristen dan Islam.

Mereka hidup harmonis dengan warga asli. Maka tak heran kalau banyak tradisi dan budaya mereka yang kemudian merasuk dan bercampur dengan budaya setempat.


Pewarta: Indriani
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013