Manado (ANTARA News) - Sekitar 1.500 Kepala Keluarga (KK) dari delapan desa di Pulau Siau, Kabupaten Sangihe, Propinsi Sulawesi Utara (Sulut), kembali diungsikan akibat aktifitas semburan lava pijar Gunung Karangetang sejak 25 Juli 2006. Kepala Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Linmas) Propinsi Sulut, JJ Mongkaren, Jumat, di Manado, Sulut, mengatakan, warga diungsikan di lokasi-lokasi aman agar terlindung dari ancaman lava pijar dan hawa panas gunung api tersebut. Pemerintah Propinsi (Pemprop) Sulut bekerja sama dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah menaikkan status Gunung Karangetang dari "Siaga" jadi "Awas", setelah ada rekaman alat pencatat pos pengamatan tersebut di Desa Salili, terjadi peningkatan aktivitas. Sekretaris Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak BP) itu, mengatakan, pengungsi diharapkan tidak kembali ke tempat tinggalnya, jika kondisi Gunung Karangetang masih terus beraktifitas semburan lava pijar. Bantuan makanan dan kebutuhan pokok lainnya yang telah disalurkan kepada para pengungsi, yakni beras 50 ton, me instan 200 kartun, minyak kelapa 20 galon dan sejumlah gula pasir, tepung terigu, ikan kaleng, dan sebagainya. "Pemprop dan Pemerintah Kabupaten Sangihe terus berupaya untuk mencari dan mendistribusikan batuan makanan lainnya kepada warga," jelas Mongkaren. Rekaman seismograf menyebutkan ada jenis gempa tremor vulkanik dengan amplituda maksimum 0,5-2,5 mm, ada 41 kali gempa hembusan asap, 43 kali gempa guguran, enam kali gempa tektonik lokal, enam kali gempa vulkanik dalam, satu kali vulkanik dangkal dan satu kali gempa fase banyak. "Masyarakat di Pulau Siau diharapkan tidak panik dengan kondisi tersebut," tandas mantan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Sulut. Tercatat Gunung Karangetang pertama kali meletus pada tahun 1675. Sebagai gunungapi yang sangat aktif, masa istirahat Gunung Karangetang sangat singkat, berlangsung beberapa bulan kemudian meningkat kembali. Pada umumnya kegiatan dimulai dengan letusan asap/abu dan biasanya berlangsung dua atau tiga bulan. Kegiatan berlanjut berupa letusan magmatik (eksplosif) diikuti dengan leleran lava (efusif). Dalam beberapa kasus, efusif biasa juga terjadi tanpa didahului oleh eksplosif. Letusan eksplosif terkadang diikuti awan panas letusan, tetapi yang sering terjadi setiap leleran lava selalu menimbulkan awan panas guguran. Awan panas tersebut terjadi akibat menumpuknya lava di suatu titik atau di ujung aliran dan rubuh (collapse) karena faktor gravitasi. Berbeda dengan kejadian awan panas guguran di Gunung Merapi yang terjadi dari kubah yang runtuh. Lava di Gunung Karangetang hampir selalu mengalir meskipun suatu ketika sebagian membangun kubah. Hal tersebut terjadi karena perbedaan viskositas magma dari masing-masing gunungapi. Salah satu ciri khas Gunung Karangetang yang patut dicatat, adalah peran gempa bumi tektonik (lokal) sangat besar dalam memotori terjadinya suatu letusan.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006