Pekanbaru (ANTARA News) - Kamar Dagang dan Industri Riau tidak mempermasalahkan kenaikan royalti batu bara mulai tiga persen hingga tujuh persen menjadi 10--13,5 persen dari harga jual yang mulai diberlakukan pada Januari 2014.

"Boleh-boleh saja dinaikkan royalti batu bara dan salah satu tujuannya untuk mengurangi ekspor dengan lebih mengutamakan kebutuhan lokal," ujar Ketua Kadin Riau Juni Ardianto Rachman di Pekanbaru, Rabu.

Apalagi, menurut dia, saat ini hampir semua pembangkit milik perusahaan atau mesin-mesin pabrik sudah beralih mengunakan bahan baku batu bara dari sebelumnya bahan bakar minyak.

Pemakaian batu bara ke depan di Tanah Air diprediksi akan makin besar karena sebagai pengganti energi bahan bakar minyak dianggap lebih murah daripada diesel.

Sekarang PLN yang proyek 10.000 megawatt itu semua menggunakan batu bara sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar diesel untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

"Hanya saja, polusi udara yang ditimbulkan dari pembakaran batu bara tinggi. Semua bahan bakar pasti memiliki kosekuensi, sementara batu bara dari segi ekonomis bagus dalam segala hal," katanya.

Berdasarkan data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Riau, terdapat sejumlah perusahaan yang memproduksi batu bara di tiga kabupaten, seperti PT Bara Prima Pratama di Kabupaten Indragiri Hilir.

Kemudian, PT Manunggal Inti Artamas dan PT Tribakti Sarimas di Kabupaten Kuantan Sengingi, lalu PT Riau Bara Harum dan PT Riau Muara Berlian di Kabupaten Indragiri Hulu.

Sebelumnya, pemerintah memperkirakan revisi besaran royalti batu bara bakal meningkatkan pos penerimaan negara bukan pajak hingga tiga triliun rupiah per tahun yang mulai berlaku pada bulan Januari 2014.

"Aturan ini akan menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012. Tarif baru akan bisa diterapkan kalau PP 9 diubah," kata Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Thamrin Sihite.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 9/2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian ESDM menyebutkan akan diubah menjadi 10--13,5 persen.

Aturan tersebut hanya berlaku pada pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang sebagian besar berskala kecil.

Adapun besaran royalti perusahaan besar sebagai pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) tetap 13,5 persen dari harga jual.

Salah satu klausul PKP2B menyebutkan perusahaan tidak mengikuti aturan di luar kontrak atau bersifat "nail down". Sesuai dengan kontrak, PKP2B dikenai royalti "flat" 13,5 persen.

Pewarta: Muhammad Said
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013