Terpaksa kita beli daripada mogok di tengah jalan."
Pekanbaru (ANTARA News) - Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bersubsidi di Provinsi Riau semakin meluas, tidak hanya di Kota Pekanbaru, melainkan juga di kabupaten lainnya seperti Siak dan Pelalawan.

Banyak SPBU paka Kamis mengaku kehabisan solar bersubsidi, seperti di Kabupaten Siak, kondisi tersebut membuat kebingungan sejumlah pengusaha angkutan umum.

"Sejak pagi saya cari solar dari Pekanbaru sampai Siak semuanya habis," kata Andi (25), sopir "travel" antardaerah.

Kondisi kelangkaan solar itu membuat banyak pengemudi terpaksa mengisi BBM dengan membeli secara eceran di kedai kaki lima. Padahal, itu membuat kerugian pengguna kendaraan karena harga jualnya yang lebih mahal.

Harga solar eceran mencapai Rp5.000-Rp5.500 per liter, sedangkan solar subsidi masih Rp4.500 per liter.

"Terpaksa kita beli daripada mogok di tengah jalan," ujar Asril (40), seorang warga Pekanbaru.

Sementara itu, satu SPBU di daerah Kulim di Jalan Lintas Timur Sumatera yang masih memiliki persediaan solar subsidi terlihat diserbu calon pembeli. Antrean panjang kendaraan tidak terhindari hingga cukup mengganggu arus lalu lintas di jalan tersebut.

Hanya saja mayoritas kendaraan yang antre merupakan kendaraan besar industri seperti truk pengangkut kelapa sawit dan kendaraan operasional dari kontraktor minyak dan gas (migas). Mereka ikut mengantre di jalur solar bersubsidi, padahal SPBU tersebut juga menjual solar nonsubsidi.

"Padahal sudah lama ada peraturan pemerintah, kendaraan industri minyak dan perkebunan tidak boleh lagi pakai BBM bersubsidi, tetapi kenyataannya berbeda di lapangan," keluh Agus (40), warga Pekanbaru.

Seorang sopir kendaraan operasional perusahaan migas mengatakan, para pengendara terpaksa menggunakan solar bersubsidi karena aturan dari kantor mereka.

"Semua pengeluaran bahan bakar akan di `reimburse` oleh kantor, tetapi kalau jumlahnya berlebihan saya takut nanti malah kita yang harus `nombok` karena aturannya seperti itu," kata sopir yang tidak mau namanya disebutkan itu.

Sebagai perusahaan subkontraktor dari operator migas, lanjut sopir itu, ia menyadari seharusnya kendaraan operasional tidak boleh lagi menggunakan solar subsidi.

"Perusahaan kami takut merugi, karena kontraknya masih menggunakan hitungan BBM subsidi. Kecuali ada perubahan kontrak, mungkin baru bisa aturannya dilaksanakan," katanya. (F012/E005)

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013