Jakarta (ANTARA) - Pihak Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso Jakarta Utara mencatat jumlah pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap mengalami lonjakan tinggi setelah libur lebaran.

Direktur Utama RSPI Sulianti Saroso, Mohammad Syahril, mengatakan peningkatan jumlah pasien COVID-19 yang menjalani perawatan mulai Mei, setelah empat bulan sebelumnya mengalami penurunan.

"Jadi betul apa yang disampaikan oleh pemerintah, kalau terjadi lonjakan. Kami pun saat ini merasakan adanya lonjakan itu. Di awal tahun, Januari, Februari, Maret, April ini, (keterisian ruangan) kami sudah turun sebetulnya. Mulai bulan Mei sampai sekarang naik lagi," kata Syahril saat ditemui ANTARA di Jakarta Kamis.

Syahril mengungkapkan peningkatan kasus COVID-19 mulai Mei 2021 seperti kejadian virus itu merebak pada awal dan akhir 2020.

Sejak pertama kali RSPI mulai merawat pasien COVID-19 pada 2 Meret 2020 ketika itu dua pasien dengan 11 tempat tidur yang tersedia.

Fasilitas perawatan pasien COVID-19 di rumah sakit tersebut terus bertambah secara bertahap hingga saat ini terdapat 123 tempat tidur sebanyak 22 tempat tidur di antaranya ruangan Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU).

"RSPI ini kan rumah sakit yang merawat pasien COVID-19 rujukan ya. Jadi khusus kasus COVID-19 yang sedang dan berat," ujar Syahril.

Kondisi saat ini dari 22 tempat tidur di ICU sudah terisi 95 persen atau hanya tinggal satu tempat tersisa, sedangkan 100 tempat tidur yang di ruang inap biasa mencapai 88 persen tingkat keterisiannya.

Jika ditotal menurut Syahril, tingkat keterisian ruang inap di RSPI Sulianti Saroro mencapai 93 persen sehingga perlu kewaspadaan dan hati-hati terhadap kebutuhan maupun hunian ruang perawatan pasien COVID-19.

Guna mengantisipasi hal itu, Syahril mengimbau masyarakat meningkatkan kewaspadaan, menyadari, serta menjadi peringatan adanya lonjakan kasus COVID-19.

"Masyarakat dengan adanya kondisi seperti menjadi disiplin dengan protokol kesehatan menjaga jarak, menggunakan masker, mencuci tangan, menghindari kerumunan dan sebagainya. Jadi betul-betul disiplin jangan sampai menambah kasus lagi," ungkap Syahril.

Kedua, untuk pemerintah, Syahril menekankan "tracing" dengan menindaklanjuti kasus aktif untuk mencari dan memeriksa tes usap terhadap masyarakat yang kontak erat dengan penderita di rumah sakit.

Ketiga, dengan angka penularan yang melonjak maka penting menghindari kepanikan yang pernah terjadi pada awal masa pendemi.

Syahril mengungkapkan sebagai langkah antisipasi perlu membuat sistem rujukan yang presisi, seperti kategori erat atau tanpa gejala cukup isolasi mandiri.

Ketika pasien mengalami gejala ringan hingga sedang cukup menjalani perawatan di puskesmas atau Rumah Sakit Umum Daerah setempat. Sedangkan pasien yang bergejala berat harus  mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit rujukan.

"Nah, tentunya saja kewaspaan dari puskesmas, RSUD, Rumah Sakit Darurat termasuk kami, sistem itu harus dimantapkan melalui SPGDT atau Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu," tutur Syahril.

Baca juga: Dokter RSPI: Pemberian antibiotik tidak tepat sebabkan resistensi
Baca juga: Ruang-ruang perawatan bakal penuh?
Baca juga: DKI pertimbangkan "rem darurat" dari pantauan perkembangan COVID-19


Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Taufik Ridwan
Copyright © ANTARA 2021