Bagaimana membuat sesuatu yang sederhana dan benar, itu tantangannya
Depok (ANTARA) - Kepala Pusat Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction Center) Universitas Indonesia Prof. Fatma Lestari menyatakan diperlukan informasi berbasis data sebagai kunci untuk melawan hoaks yang beredar di masyarakat.

"Perihal perang melawan hoaks perlu konsep strategi komunikasi publik yang baik, yaitu dengan melibatkan masyarakat secara meluas dan bersifat satu komando. Selain itu, informasi yang disebarkan juga harus berbasis data, berkolaborasi dengan komunitas, dan memanfaatkan kebijaksanaan/kebiasaan lokal yang sudah ada," katanya dalam keterangannya di Depok, Jumat.

Menurut dia, informasi berbasis data memang menjadi sesuatu yang penting dalam masa pandemi COVID-19.

Prof. Fatma memaparkan tentang dampak pandemi COVID-19 yang tidak sekadar krisis kesehatan, namun juga berpotensi menjadi krisis informasi, sosial, ekonomi, dan politik.

Beberapa tantangan yang terjadi akibat pandemi, kata dia, meluasnya hoaks, ketidakpastian ekonomi yang menyebabkan frustrasi dan berdampak pada kesehatan mental, serta perpecahan sosial-ekonomi.

Juru Bicara Satgas COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito mengatakan data yang ditampilkan harus dinarasikan dengan bahasa yang mudah dan tidak emosional, dengan target masyarakat paham.

Tingkat pemahaman masyarakat akan suatu isu, kata dia, indikator utama keberhasilan suatu komunikasi publik.

Baca juga: Cek Fakta: Vaksin COVID-19 timbulkan reaksi magnetis pada tubuh?

Tenaga Ahli Kominfo Bidang Literasi Digital dan Tata Kelola Internet Donny Budi Utoyo mengakui sulit mencegah hoaks agar tidak menyebar dengan cepat.

"Kecenderungan kita semua adalah memilih jawaban yang sederhana, walaupun salah, daripada benar tetapi kompleks. Hoaks itu sederhana, tetapi salah. Klarifikasi kebenaran itu benar, tetapi kompleks," ujarnya.

Kompleksitas ini, katanya, yang menjadi tantangan komunikasi publik yang dilakukan pemerintah terkait dengan penanganan hoaks.

"Bagaimana membuat sesuatu yang sederhana dan benar, itu tantangannya," ujarnya.

Ia mengatakan sudah saatnya diterapkan “fiqih informasi”, yaitu melakukan filter terhadap informasi yang diterima dengan cara tidak menyebarkan, melaporkan, dan hanya mengikuti media sosial/laman yang bereputasi baik.

Baca juga: Varian virus COVID-19 India tidak terdeteksi tes PCR? Cek faktanya!

Pemaparan tersebut dilakukan para narasumber ketika Pusat Pengurangan Risiko Bencana Universitas Indonesia menggelar seminar daring bertajuk “Peran Perguruan Tinggi dalam Komunikasi Publik Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional”.

Seminar disiarkan secara langsung pada kanal Youtube UI Teve dan melalui media Zoom. Narasumber pada acara ini Prof. drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D (Juru Bicara Satgas COVID-19), Donny Budi Utoyo (Tenaga Ahli Kominfo Bidang Literasi Digital dan Tata Kelola Internet), dan Prof. Fatma Lestari, M.Si, Ph.D. (Kepala DRCC UI).

Sekretaris universitas, dr. Agustin Kusumayati, mengatakan tujuan seminar memberikan pengetahuan kepada masyarakat sebagai salah satu upaya penanganan pandemi COVID-19.

"Sehingga, kita dapat memahami bagaimana perguruan tinggi dapat berperan memberikan komunikasi kepada masyarakat mengenai risiko maupun hal-hal yang harus dilakukan ketika kita menghadapi wabah COVID-19," ujarnya.

Baca juga: Cek Fakta: Alat tes cepat COVID-19 bisa positif saat ditetesi air keran?
Baca juga: Cek Fakta: WHO sebut setiap 377 dari 100 ribu orang meninggal setelah divaksin?

Pewarta: Feru Lantara
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021